Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 27 September 2011

Dahsyatnya Memberi



Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 25 September 2011

Anda berharap bisa bahagia? Dicintai? Aman? Tenteram? Anda ingin bisa berpaling kepada orang lain pada masamasa sulit dan bisa mengandalkan mereka? Anda ingin kehangatan dari sebuah hubungan sejati? Anda bisa memasuki dunia kerja setiap harinya dengan mengetahui bahwa ini adalah tempat bagi kebaikan hati dan harapan? Maka memberilah.

Perilaku murah hati memancarkan sinar yang melindungi seluruh masa hidup Anda. Penemuanpenemuan mengejutkan dari banyak penelitian yang dilakukan Stepen Post dan Jill Neimark dalam buku Why Good Things Happen to Good Peopleini menunjukkan bahwa jika Anda terlibat dalam aktivitasaktivitas membantu pada masa remaja, Anda masih akan mengambil manfaat kesehatannya enam puluh atau tujuh puluh tahun kemudian.

Dan tidak masalah jika Anda memulai gaya hidup memberi, kesejahteraan Anda akan membaik, bahkan pada hari tua.Tingkah laku murah hati erat dihubungkan dengan berkurangnya risiko menderita penyakit dan kematian serta tingkat depresi yang lebih rendah.Yang lebih luar biasa, memberi dikaitkan dengan sifat-sifat yang mendukung hidup sukses, seperti kompetensi sosial, empati, dan emosi positif.

Dengan belajar memberi, Anda menjadi lebih efektif dalam hidup itu sendiri. Buku ini akan menunjukkan kepada Anda mengapa memberi adalah sebuah nasihat yang baik secara ilmiah, dan saat selesai membaca buku ini, Anda akan memiliki banyak peralatan untuk memulai sendiri suatu gaya hidup yang lebih sehat, yang lebih banyak memberi. Dalam kemurahan hati terdapat penyembuhan kesehatan. Dengan memberi kita menyingkirkan emosi-emosi negatif.Saat memberi kita menemukan diri kita sesungguhnya.

Sepuluh Cara

Stephen Post dan Jill Neimark mendedah sepuluh cara dalam memberi, yaitu perayaan, generativitas, pengampunan, keberanian dan konfrontasi, humor, respek,welas asih, kesetiaan, mendengarkan, dan kreativitas. Perayaan yang meluap dari rasa syukur akan hidup dalam keseluruhan ragamnya yang tak terbatas.Perayaan itu menyenangkan, dapat dirasakan, riang gembira, dan ritualritualnya tak terhitung jumlahnya– ulang tahun,acara wisuda, syukuran bayi, syukuran rumah baru, kartu terima kasih, kado spesial untuk orang tercinta, tracking di alam liar, meditasi yang menenangkan,atau sorak sorai bagi tim Anda yang menang.

Memberi bersifat generatif dalam berbagai cara yang mendalam dan bertahan lama. Generativitas telah dipelajari secara ekstensif dalam ilmuilmu sosial dan merupakan pertanda kesejahteraan.Kebenaran yang agung,walaupun klise, di balik generativitas adalah: “Beri orang itu ikan dan dia akan makan hari ini; ajari orang itu menangkap ikan dan dia akan makan seumur hidup”.

Saat kita merawat orang lain agar hidup mereka berkembang dalam berbagai cara yang tak terduga dan indah, kita menyampaikan obor cinta. Pengampunan menghadirkan kebebasan diri, ketenangan, dan kedamaian yang menentukan suasana hati untuk seumur hidup. Pengampunan membebaskan kita dari beban rasa bersalah,tetapi sebaliknya pula, membebaskan kita dari rasa sakit. Terkadang, hal ini berarti secara pribadi melepaskan beban pikiran dan kepahitan kita serta melanjutkan hidup.

Walaupun tentu saja ada saat-saat ketika pengampunan tidaklah sesuai, lebih sering, pengampunan dapat menyembuhkan. Diperlukan keberanian untuk menghadapi langsung perilaku merusak dan diskusi mengenai cinta tidak akan lengkap tanpa mengakui betapa konfrontasi melawan kejahatan telah mengubah sejarah. Konfrontasi bisa berwujud mempertanyakan,memberi teladan, saran, dan pengaruh yang mengarahkan.

Namun, ada pula saat-saat ketika dibutuhkan sikap blak-blakan yang teguh dan tak tergoyahkan serta aktivisme sosial. Humor adalah bentuk memberi yang paling cepat dan paling singkat. Humor dapat mengubah penderitaan menjadi kegembiraan hanya dalam waktu milidetik. Terkadang, sebuah lelucon, dapat mengangkat seseorang dari penderitaannya saat tidak ada cara lain yang efektif.

Respek membiarkan cinta mengambil nafas, membuat kita dapat menerima pilihan orang lain dalam kehidupan bahkan jika pilihan-pilihan itu bertentangan dengan pilihan kita.Respek menawarkan toleransi, kesopanan,penerimaan, dan bahkan penghormatan. Memang, ada semacam perasaan takjub dan kekaguman diam-diam jika melihat respek mendalam terhadap orang lain, bahkan suatu apresiasi terhadap keajaiban hidup.

Memberi bisa berwujud welas asih–jawaban cinta terhadap penderitaan. Empati yang tercurah adalah esensi dari sebagian besar pemikiran agama Budha dan kini menjadi subjek penelitian ilmiah baru yang sangat menarik mengenai pemetaan otak. Para peneliti telah melihat langsung bagian- bagian otak yang menyala seorang ibu mendengarkan bayinya menangis atau melihatnya tersenyum, atau ketika seorang biarawan bermeditasi.

Welas asih begitu umum dan menyerap sehingga ia sebagai inti emosi moralitas. Kesetiaan adalah cinta melampaui waktu. Cinta dalam bentuknya yang terbaik bertahan melalui masa-masa sulit. Tidak ada perkawinan yang dapat berjalan baik tanpa keyakinan bahwa kesetiaan tercipta. Tanpa berkatakata, kita memberikan perhatian dengan mendengarkan. Bentuk perhatian ini adalah sebuah kemahiran dan bakat.

Mendengarkan dengan penuh perhatian adalah dasar terapi yang bagus, kepemimpinan, keayahbundaan, persahabatan, dan bahkan politik yang berarti. Kebutuhan untuk didengarkan, dimengerti, dan benar-benar dikenal adalah universal. Kreativitas adalah ekspresi paling spontan dan paling menggembirakan dari kehidupan itu sendiri. Sepuluh cara memberi dan empat ranah (keluarga,temanteman, komunitas, dan umat manusia), pada saat ini memberi Anda empat puluh cara berbeda dan begitu banyak untuk memberi. Sebuah buku yang sayang untuk dilewatkan.●

Benni Setiawan,
alumnus program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Minggu, 11 September 2011

Cara Pandang Baru Penulisan Sejarah



Resensi, Solo Pos, Minggu, 11 September 2011

Judul : Mr Slamet dan Partai Demokrat
Penulis : Hendri F. Isnaeni
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta
Terbit : Juni 2011
Tebal : iv + 187 Halaman

Pada awalnya buku ini berjudul Partai Demokrat Antjek Pendjadjah. Namun, karena toko buku utama enggan menampilkan buku ini karena takut dan judulnya terlalu provokatif, maka judulnya pun diubah menjadi Mr Slamet dan Partai Demokrat. Sebuah judul yang biasa. Jauh dari sebuah judul yang menggigit dan membuat penasaran pembaca.

Saya heran, mengapa di zaman keterbukaan seperti ini masih tabu melakukan kritik melalui buku. Penjual buku atau toko buku masih enggan menjual buku-buku yang provokatif, apalagi mengarah kepada penguasa.

Padahal setelah saya membaca halaman demi halaman dalam buku Partai Demokrat Antek Pendjadjah yang kemudian judulnya direvisi ini, isinya bukan menjelek-jelekan partai berkuasa saat ini (Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono). Buku ini bercerita tentang perjuangan Mr Mas Slamet yang tidak rela negeri ini merdeka.
Mas Slamet adalah seorang pegawai tinggi yang bekerja di kantor keuangan di era Belanda masih berkuasa. Meski bergelar sarjana hukum (master in de rechten), tapi dia juga menguasai bidang keuangan. Karirnya cemerlang, dia sempat menjabat Adjunct Inspecteur van Financien atau Ajun Pemeriksa Keuanan. Hidupnya pun mapan.

Pekerjaan Mas Slamet yang mapan berantakan ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Republik Indonesia pada 1945. Suasana revolusi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Mas Slamet terkena dampaknya.

Mas Slamet tak mengikuti zaman. Ketika gelombang revolusi menghempaskan semua yang berbau Belanda, dia malah memilih melawan arus kemerdekaan yang diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta. Seakan urut takutnya putus, ia menunjukkan ketidaksetujuan itu di hadapan rekan sekantornya yang sedang dirasuki semangat kemerdekaan.

“Kalau Indonesia tetap merdeka, saya akan berangkat ke Belanda. Saya maju karena Belanda“, kata Mas Slamet seperti dikutip Pewarta Deli, 21 Januari 1946.
Mendengar dia berkata demikian, rekan kantornya yang sebagian besar pemuda mengamuk. Mas Slamet diculik dan dikurung selama dua bulan. Selama dalam kurangan itulah, menurut pengakuannya, dia dianiaya oleh para pemuda republiken. Setelah dibebaskan, dia mengirim surat kepada Ratu Wilhelmia, mengadukan perlakuan para pemuda.

“Haruslah diikhtiarkan jalan untuk mencegah kejahatan-kejahatan dan kekerasan yang tidak ada batasnya itu“, tulis Mas Slamet dalam suratnya.
Kesumat telah membara dalam dadanya. Dia berusaha keras mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan Republik Indonesianya sendiri. Untuk melempangkan niatnya, dia dirikan sebuah partai, Partai Demokrat namanya. Partai Demokrat didirikan oleh delapan orang yang dipimpin Mas Slamet. Tak tanggung-tanggung dia meminta bantuan langsung kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.

Kaum terpelajar

Kepada Ratu dia mengklaim anggota Partai Demokrat terdiri dari kaum terpelajar Indonesia. Partai baru itu memohon kemerdekaan penuh Indonesia atas Belanda tapi oposisi pada Republik Indonesia yang diproklamirkan Sukarno. Dalam suratnya, Mas Slamet cum suis mengusulkan supaya soal-soal Indonesia diserahkan saja kepada suatu komisi Belanda yang berpandanan luas. Ketua Partai Demokrat itu juga mengajukan permohonan bicara di depan corong radio Serikat demi keperluan partainya.

Koran Pewarta Deli edisi 21 Januari 1946 menurunkan berita itu dengan pesan supaya mewaspadai gerakan Mas Slamet. “Mr Mas Slamet satoe lagi perkakas Belanda oentoek memetjah bela kita“, demikian anak judul koran terbitan Sarikat Tapanoeli, Medan, itu. Tak jelas bagaimana kelanjutan nasib Mas Slamet yang apes itu. Yang pasti, republik impiannya tak berdiri sampai hari ini (hal 19- 24).

Cerita Mas Slamet di atas tersebut tentunya tidak kita temukan dalam rujukan sejarah baku. Artinya, penulisan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kalaupun ada pasti Mas Slamet dianggap sebagai pengkhianat.

Itulah sejarah. Pihak yang kalah akan dianggap sebagai pecundang dan pemberontak. Sulit kita temukan sisi “humanis“ lain selain dua kata tersebut.

Melalui buku ini Hendri F Isnaeni menawarkan sebuah cara pandang baru dalam penulisan sejarah. Dia mengangkat tokoh Mas Slamet yang melawan arus utama kemerdekaan saat itu. Wartawan Majalah Historia Online ini ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa sejarah tidak hanya dipenuhi oleh kisah heroik dan kepahlawanan.

Buku ini sungguh menawan. Pasalnya, kepiawaian penulis menelusuri data sejarah klasik dan meramunya menjadi bacaan renyah yang sesuai dengan kondisi kekinian. Dia mengetengahkan kondisi partai politik di zaman baheula yang mungkin nama dan garis perjuangan yang mirip-mirip dengan kondisi kepartaian saat ini.

Pada akhirnya, mengutip pendapat Bonni Triyana dalam pengantarnya, sejarah memang selalu berulang dan seringkali polanya tidak berubah. Melalui buku ini, kita menemukan nama partai yang ternyata juga tak berubah. Ternyata sejarah bukan sekadar kisah kepahlawanan dan heroisme tapi bisa juga tentang pengkhianatan dan kekonyolan. Buku ini lucu, mencerahkan, dan yang pasti menyegarkan. Sebuah cara pandang lain terhadap sejarah. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Membela Tuhan dan Agama



Jurnal Nasional | Minggu, 11 Sep 2011

Dalam buku ini Karen Armstrong tampil lebih tegas mendukung agama dari serangan bertubi-tubi fundamentalisme maupun pemikir ateisme.


SETELAH melacak perkembangan konsepsi manusia tentang Sang Pencipta dalam Sejarah Tuhan, kini Karen Armstrong menampilkan kajian tentang masa depan Tuhan. Dalam buku Masa Depan Agama, Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme ini, Armstrong menunjukkan pembelaannya terhadap Tuhan dan agama menentang fundamentalisme dan ateisme.

Buku ini terdiri atas dua bagian utama dengan 12 pokok bahasan. Pada bagian pertama, Armstrong menunjukkan bagaimana orang-orang berpikir tentang Tuhan di dunia pramodern dalam cara yang memberi kejelasan tentang beberapa isu yang kini dirasa orang bermasalah --kitab suci, inspirasi, penciptaan, mukjizat, wahyu, iman, kepercayaan, dan misteri-- dan juga menunjukkan bagaimana agama menjadi kacau.
Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi dan absolut tentu tidak dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak berbicara tentang Tuhan akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering dangkal, ungkap Armstrong.

Lebih lanjut, baginya agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati. Tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius. Anda akan menemukan kebenaran --atau ketiadaan kebenaran-- di dalamnya dengan hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis. Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang lebih cakap dalam hal itu dibandingkan yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya (halaman 15).

Pada bagia kedua, Armstrong menelusuri kebangkitan "Tuhan Modern", yang menggulingkan begitu banyak persangkaan agama tradisional. Ini, tentu saja, tidak dapat menjadi uraian yang lengkap. Armstrong berfokus pada Kristen, sebab itu merupakan tradisi yang paling terkena dampak bangkitnya modernitas ilmiah dan juga dihantam pukulan keras dari serangan ateistik baru. Lebih jauh, di dalam tradisi Kristen, Armstrong berkonsentrasi pada tema dan tradisi yang berbicara secara langsung tentang masalah-masalah religius kontemporer kita.

Agama itu kompleks, dalam setiap zaman terdapat sejumlah aliran kesalehan. Tidak ada satu kecenderungan yang pernah berlaku sepanjang zaman. Orang mengamalkan agama mereka dalam beraneka ragam cara yang berbeda dan kontraproduktif. Tetapi, sikap diam yang khidmat dan berprinsip mengenai Tuhan dan/atau yang suci merupakan tema yang konstan tidak hanya dalam Kekristenan, tetapi juga dalam tradisi iman besar lainnya sampai kebangkitan modernitas di Barat.

Orang percaya bahwa Tuhan melampaui pemikiran dan konsep kita dan hanya dapat diketahui melalui amalan yang tekun. Kita telah kehilangan wawasan tentang hal yang penting ini dan Armstrong percaya ini adalah salah satu alasan mengapa begitu sukar belakangan ini orang Barat mendapatkan konsepsi Tuhan.

Oleh karena itu, mantan biarawati ini memberikan perhatian khusus pada disiplin yang terabaikan ini dengan harapan akan memberi kita perspektif baru tentang keadaan kita saat ini. Tetapi, Armstrong tentu saja tidak menyatakan bahwa ini adalah sebuah sikap yang universal. Cukup bahwa ini merupakan unsur utama di dalam praktik yang tidak hanya mencakup kalangan Kristen, tetapi juga iman-iman monoistik dan nonteistik yan perlu kita beri perhatian.

Di berbagai penjuru dunia, kita melihat agama-agama sedang mengalami kebangkitan. Dampaknya terasa di berbagai bidang politik sosial dan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama pun terasa meningkat sebagai respons terhadap perkembangan itu.

Dalam buku ini Armstrong tampil lebih tegas mendukung agama dari serangan bertubi-tubi fundamentalisme maupun pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Hariss. Armstrong memerhatikan kesejajaran antara ateisme gaya Dawkins dan fundamentalisme kontemporer. Dengan nada optimisme spiritual yang tenang, Armstrong menyajikan gambaran menggairahkan tentang masa depan agama-agama.

Buku ini terasa sulit dipahami bagi pembaca yang belum mengenal karya-karya Armstrong terdahulu. Sebagai sebuah buku kelanjutan dan koreksi atas karya terdahulunya, maka diwajibkan bagi pembaca buku ini untuk memahami karya-karya Karen Armstrong sebelumnya, seperti A History of God: The 4.000-Years Quest of Judaism, Christianity, and Islam; The Battle for God, Fundamentalism in Judaism, Christianity, and Islam, dan The Great Transformation.


*)Benni Setiawan adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Data Buku
Judul: Masa Depan Agama, Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme
Penulis: Karen Armstrong
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Tanggal Terbit: Mei 2011
Tebal: 608 halaman