Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 11 September 2011

Cara Pandang Baru Penulisan Sejarah



Resensi, Solo Pos, Minggu, 11 September 2011

Judul : Mr Slamet dan Partai Demokrat
Penulis : Hendri F. Isnaeni
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta
Terbit : Juni 2011
Tebal : iv + 187 Halaman

Pada awalnya buku ini berjudul Partai Demokrat Antjek Pendjadjah. Namun, karena toko buku utama enggan menampilkan buku ini karena takut dan judulnya terlalu provokatif, maka judulnya pun diubah menjadi Mr Slamet dan Partai Demokrat. Sebuah judul yang biasa. Jauh dari sebuah judul yang menggigit dan membuat penasaran pembaca.

Saya heran, mengapa di zaman keterbukaan seperti ini masih tabu melakukan kritik melalui buku. Penjual buku atau toko buku masih enggan menjual buku-buku yang provokatif, apalagi mengarah kepada penguasa.

Padahal setelah saya membaca halaman demi halaman dalam buku Partai Demokrat Antek Pendjadjah yang kemudian judulnya direvisi ini, isinya bukan menjelek-jelekan partai berkuasa saat ini (Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono). Buku ini bercerita tentang perjuangan Mr Mas Slamet yang tidak rela negeri ini merdeka.
Mas Slamet adalah seorang pegawai tinggi yang bekerja di kantor keuangan di era Belanda masih berkuasa. Meski bergelar sarjana hukum (master in de rechten), tapi dia juga menguasai bidang keuangan. Karirnya cemerlang, dia sempat menjabat Adjunct Inspecteur van Financien atau Ajun Pemeriksa Keuanan. Hidupnya pun mapan.

Pekerjaan Mas Slamet yang mapan berantakan ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Republik Indonesia pada 1945. Suasana revolusi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Mas Slamet terkena dampaknya.

Mas Slamet tak mengikuti zaman. Ketika gelombang revolusi menghempaskan semua yang berbau Belanda, dia malah memilih melawan arus kemerdekaan yang diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta. Seakan urut takutnya putus, ia menunjukkan ketidaksetujuan itu di hadapan rekan sekantornya yang sedang dirasuki semangat kemerdekaan.

“Kalau Indonesia tetap merdeka, saya akan berangkat ke Belanda. Saya maju karena Belanda“, kata Mas Slamet seperti dikutip Pewarta Deli, 21 Januari 1946.
Mendengar dia berkata demikian, rekan kantornya yang sebagian besar pemuda mengamuk. Mas Slamet diculik dan dikurung selama dua bulan. Selama dalam kurangan itulah, menurut pengakuannya, dia dianiaya oleh para pemuda republiken. Setelah dibebaskan, dia mengirim surat kepada Ratu Wilhelmia, mengadukan perlakuan para pemuda.

“Haruslah diikhtiarkan jalan untuk mencegah kejahatan-kejahatan dan kekerasan yang tidak ada batasnya itu“, tulis Mas Slamet dalam suratnya.
Kesumat telah membara dalam dadanya. Dia berusaha keras mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan Republik Indonesianya sendiri. Untuk melempangkan niatnya, dia dirikan sebuah partai, Partai Demokrat namanya. Partai Demokrat didirikan oleh delapan orang yang dipimpin Mas Slamet. Tak tanggung-tanggung dia meminta bantuan langsung kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.

Kaum terpelajar

Kepada Ratu dia mengklaim anggota Partai Demokrat terdiri dari kaum terpelajar Indonesia. Partai baru itu memohon kemerdekaan penuh Indonesia atas Belanda tapi oposisi pada Republik Indonesia yang diproklamirkan Sukarno. Dalam suratnya, Mas Slamet cum suis mengusulkan supaya soal-soal Indonesia diserahkan saja kepada suatu komisi Belanda yang berpandanan luas. Ketua Partai Demokrat itu juga mengajukan permohonan bicara di depan corong radio Serikat demi keperluan partainya.

Koran Pewarta Deli edisi 21 Januari 1946 menurunkan berita itu dengan pesan supaya mewaspadai gerakan Mas Slamet. “Mr Mas Slamet satoe lagi perkakas Belanda oentoek memetjah bela kita“, demikian anak judul koran terbitan Sarikat Tapanoeli, Medan, itu. Tak jelas bagaimana kelanjutan nasib Mas Slamet yang apes itu. Yang pasti, republik impiannya tak berdiri sampai hari ini (hal 19- 24).

Cerita Mas Slamet di atas tersebut tentunya tidak kita temukan dalam rujukan sejarah baku. Artinya, penulisan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kalaupun ada pasti Mas Slamet dianggap sebagai pengkhianat.

Itulah sejarah. Pihak yang kalah akan dianggap sebagai pecundang dan pemberontak. Sulit kita temukan sisi “humanis“ lain selain dua kata tersebut.

Melalui buku ini Hendri F Isnaeni menawarkan sebuah cara pandang baru dalam penulisan sejarah. Dia mengangkat tokoh Mas Slamet yang melawan arus utama kemerdekaan saat itu. Wartawan Majalah Historia Online ini ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa sejarah tidak hanya dipenuhi oleh kisah heroik dan kepahlawanan.

Buku ini sungguh menawan. Pasalnya, kepiawaian penulis menelusuri data sejarah klasik dan meramunya menjadi bacaan renyah yang sesuai dengan kondisi kekinian. Dia mengetengahkan kondisi partai politik di zaman baheula yang mungkin nama dan garis perjuangan yang mirip-mirip dengan kondisi kepartaian saat ini.

Pada akhirnya, mengutip pendapat Bonni Triyana dalam pengantarnya, sejarah memang selalu berulang dan seringkali polanya tidak berubah. Melalui buku ini, kita menemukan nama partai yang ternyata juga tak berubah. Ternyata sejarah bukan sekadar kisah kepahlawanan dan heroisme tapi bisa juga tentang pengkhianatan dan kekonyolan. Buku ini lucu, mencerahkan, dan yang pasti menyegarkan. Sebuah cara pandang lain terhadap sejarah. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar