Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 10 Juli 2011

Masa Depan Agama-agama



Seputar Indonesia, Minggu, 10 Juli 2011

Sebuah buku yang secara apik dan lugas mengupas perspektif agama-agama Abrahamik tentang Tuhan. Kini, Armstrong hadir dengan buku yang tak kalah menarik yaitu Masa Depan Tuhan.

Melalui karya ini Armstrong berbicara tentang Tuhan dan agama menentang fundamentalisme dan ateisme.Baginya,agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati.

Tidak ada gunanya menimbang ajaran ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius.Anda akan menemukan kebenaran— atau ketiadaan kebenaran— di dalamnya dengan hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis.

Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang lebih cakap dalam hal itu dibandingkan yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya (halaman 15).

Menjadi Teoretis

Namun, ketika para teolog mulai mengadopsi criteria sains, mythoi (mitos) kekristenan ditafsirkan sebagai dapat diverifikasi secara empiris,rasional,dan historis, lalu didesak untuk masuk ke dalam sebuah gaya pemikiran yang asing bagi mereka.

Para filsuf dan ilmuwan tidak lagi dapat melihat tujuan ritual dan pengetahuan agama menjadi teoretis alih-alih praktikal. Kita kehilangan seni menafsirkan dongeng-dongeng lama tentang para dewa yang berjalan di atas bumi, orang mati yang bangkit dari kuburan,atau laut terbelah secara mukjizati.

Kita mulai memahami konsep-konsep seperti iman, wahyu, mitos, misteri,dan dogma dengan cara yang tentunya akan mengejutkan bagi para leluhur kita.Secara khusus, arti kata ”percaya” menjadi berubah sehingga penerimaan secara enteng atas doktrin keimanan menjadi prasyarat untuk beriman, sedemikian sehingga hari ini kita sering menyebut orang beragama sebagai ”orang beriman” seolah-olah menerima dogma ortodoks ”tentang iman”adalah kegiatan yang paling penting.

Fundamentalisme dan Ateisme

Tafsiran yang dirasional atas agama ini telah menimbulkan dua fenomena modern yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme.Keduanya saling terkait. Kesalehan defensif yang secara populer dikenal dengan ”fundamentalisme” meledak di hampir semua agama besar selama abad ke-20.

Dalam keinginan mereka untuk menghasilkan keimanan rasional yang sepenuhnya ilmiah, yang menghapuskan mythos demi menegakkan logos, para fundamentalis Kristen menafsirkan kitab dengan literalisme yang belum pernah tersamakan dalam sejarah agama.

Di Amerika Serikat, fundamentalisme Protestan telah mengembangkan ideologi yang dikenal sebagai ”sains penciptaan”, yang menganggap mythoi dari Alkitab sebagai akurat secara ilmiah. Mereka, karena itu,berkampanye menentang pengajaran evolusi di sekolah-sekolah umum sebab hal itu bertentangan dengan kisah penciptaan dalam bab pertama Kitab Kejadian (halaman 19–20).

Dalam segala bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela. Mereka, misalnya, bisa sangat selektif dalam membaca kitab suci.

Fundamentalis Kristen banyak mengutip dari Kitab Wahyu kepada Yohanes dalam Perjanjian Baru dan terinspirasi oleh kekerasan visinya tentang Akhir Zaman,tetapi jarang merujuk pada Khotbah di Atas Bukit, di mana Yesus menyuruh pengikutnya untuk mengasihi musuh-musuh mereka, memberi pipi yang lain, dan tidak menghakimi orang lain.

Fundamentalis Yahudi sangat mengandalkan bagian Kitab Ulangan dari Alkitab dan tampaknya mengabaikan perintah nabi bahwa penafsiran harus mengarah pada kemurahan hati. Fundamentalis muslim mengabaikan pluralisme Alquran dan kaum ekstrem mengutip ayat-ayat Alquran yang lebih agresif untuk membenarkan kekerasan, terang-terangan mengabaikan ayat yang jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan.

Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan. Menjadikan fenomena sejarah yang murni manusia-wi–seperti, ”Nilai-Nilai Keluarga”, ”Tanah Suci”,atau ”Islam”–sesuatu yang sakral dan bernilai absolut berarti pemberhalaan dan, seperti biasa, berhala itu memaksa mereka untuk berusaha menghancurkan lawanlawannya (halaman 470-471).

Dalam sejarah, ateisme jarang menjadi selubung penolakan terhadap hal-hal yang suci per se,tetapi hampir selalu menolak konsep tertentu tentang yang Ilahi. Pada tahap awal sejarah mereka, orang Kristen dan Islam disebut ”ateis” oleh kaum pagan sezaman mereka, bukan karena mereka menyangkal kenyataan Allah, melainkan karena konsep ketuhanan mereka sangat berbeda sehingga terkesan menghina Tuhan.

Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar