Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 12 April 2015

Kupas Tuntas Cabe-cabean

Oleh Benni Setiawan

Ta'dib Magz | Edisi 1 Tahun 2015


Judul : “Cabe-cabean’ The Untold Stories
Penulis : Ian Karim dan Stanley Meulen
Penerbit : Loveable, Jakarta
Cetakan : 2014
Tebal : 210 halaman

Cerdas dan humanis. Dua kata yang layak menggambarkan buku “Cabe-cabean” The Untold Stories ini. Buku yang ditulis dan dicetak dengan gaya bahasa khas anak muda ini sungguh memikat. Pembaca seakan diajak bertualang ke negeri ‘cabe-cabean’ yang hidup di tengah masyarakat. Bukan untuk menghardik mereka, namun, mencoba berempati terhadap pilihan hidupnya.

Buku ini ditulis untuk membuka mata kita semua. Bahwa, ada sesuatu yang nyata yang telah terjadi di masyarakat, dan itu butuh perhatian kita semua. Untuk menyadarkan kita bahwa ada something missing dirasa kepedulian kita, yang sepertinya semakin hari semakin tergerus.

Gula-gula
Fenomena cabe ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2008. Tapi waktu itu belum dikenal istilah cabe. Melainkan gula-gula atau gulali atau dalam bahasa resmi dunia balap adalah umbrella girl. Namun, bukan umbrella girl sebagaimana yang ada di dalam balapan resmi.

Cabe-cabean berasal dari sini. Yaitu, trend cewek pendamping di arena balapan liar. Para gula-gula ini juga punya tugas lain yaitu sebagai gadis pengangkat bendera start atau lebih tepatnya sapu tangan di arena balap.

Ada semacam seleksi alam dalam pemilihan para gula-gula ini di kalangan joki. Dari beberapa perempuan, joki tidak akan langsung memilih.

Terjadilah semacam transformasi. Dulu hanya joki juaralah yang memiliki gula-gula atau cewek pendamping. Namun, setelah terjadinya perubahan kultur, joki-joki baru ini, yang mungkin baru akan turun di arena balap untuk pertama kalinya, ternyata sudah memiliki gula-gulanya sendiri. Cewek-cewek itu dalam komunitas balapan disebut sebagai gula karbitan (halaman 39).

Sering dibully
Ada sebuah benang merah yang bisa ditarik dari isu cabe-cabean ini. Tentang mengapa akhirnya mereka ada dan nama itu lahir. Benang merah itu adalah, fame alias popularitas. Karena joki dipercaya bisa mengangat kepopuleran mereka.

Namun, di balik itu ada fakta menarik dan mencengangkan. Mereka yang berusaha untuk bisa mendampingi seorang joki dan tidak peduli dengan latar belakangnya (yang penting bisa sama joki), ternyata kebanyakan adalah cewek-cewek yang tidak terlalu populer di sekolahnya.

Mereka adalah para siswi yang tereleminir bahkan juga kadang sering di-bully. Sekalipun mungkin ada di antara mereka yang tidak mengalaminya di sekolah. Tapi, sudah pasti mereka ini adalah anak-anak yang tersingkir di pergaulan karena faktor tekanan ekonomi mereka.

Mereka bukan siapa-siapa dan tidak diterima di mana-mana. Dan satu-satunya cara bagi mereka untuk merasa berharga adalah dengan mencari tempat. Teman dan sesuatu yang bisa memberikan mereka hal-hal yang mereka tidak akan dapatkan di sekolah dan lingkungannya, dan arena balapan liar adalah jawabannya. Mendapatkan joki akan membuat mereka populer. Inilah yang mereka cari (halaman 47).

Tekanan Ekonomi dan Minder
Ironisnya, berkembanglah pemahaman bahwa cewek gula-gula ini memang mudah sekali “dipake” dan digilir di kalangan joki atau anak-anak motor. Ada juga semacam image yang melekat pada cewek gula-gula. Bahwa, mereka itu alay, bego, dan kampung (makanya bisa sembarangan dipake). Nah, karena itu kemudian lahirlah istilah cabe yang akhirnya resmi menggantikan istilah gula-gula atau gulali. Cabe itu sendiri adalah kependekan dari, cewek alay bahan ent*tan/e*ean. Dipakai kata bahan, karena joki menyebut part motor dengan bahan (halaman 49).

Selain faktor ekonomi dan sosial, ada juga faktor lainnya yang melatarbelakangi terjunnya seorang cewek ABG menjadi cabe-cabean, yaitu faktor keluarga. Cabe tidaklah mencari uang. Mereka bukan bispak atau jablay. Mereka memilih jalan tersebut karena tekanan hidup, keluarga dan tekanan ekonomi. Mereka hanya ingin bebas. Tekanan ekonomi berbeda dengan masalah ekonomi. Karena kalau sudah berbicara masalah ekonomi, ujung-ujungnya pastilah uang. Iya, mereka butuh uang dan mereka juga senang jika mendapat uang, tapi bukan itu tujuan utama mereka menjadi cabe-cabean.

Cabe sebenarnya memiliki rasa minder yang cukup tinggi. Para cabe tidak akan pernah menghampiri lelaki yang memakai mobil atau motor bagus. Standar kendaraan mereka cukuplah motor bebek atau matic biasa untuk ‘tarif bawah’ dan bebek atau matic dengan velg jari-jari 17 plus krom untuk ‘tarif atas’. Mereka sama sekali tidak mau masuk ke dalam pergaulan yang lebi atas lagi. Buat cabe, itu bukanlah dunianya mereka (halaman 78-79).

Buku karya Ian Karim dan Stanley Meulen ini seakan menyodok alam bawah sadar kita untuk segera peduli terhadap masa depan anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar