Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 14 Januari 2013

Kisah Manusia Setengah Dewa



Oleh Benni Setiawan

Resensi Jurnal Nasional,Minggu, 13 Januari 2013

Sebuah buku yang mengisahkan dan mengajarkan bahwa kebenaran dan kebajikan harus terus diperjuangan dengan sepenuh jiwa dan raga.

Kebusukan tidak hanya terlihat di pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintahan daerah. Yang kuat selalu menang. Kepalsuan mengalahkan orang jujur. Orang yang pandai bergaul dengan bangsawan di pemerintah pusat dapat diberikan surat perintah untuk mengendalikan pemerintahan daerah maupun pengurusan politik di daerah sesuka hatinya. Ini sebuah penanda zaman penuh kekacauan. Zaman di mana kebenaran ditertawakan dan kebatilan menjadi mantra kehidupan. Pengucap kebaikan disisihkan dalam kancah kehidupan. Pengucap keburukan mendapat tempat dan juga singgasana kekuasaan.

Zaman gelap tersebut pernah terjadi di Jepang. Tepatnya pada abad ke-10. Kesewenang-wenangan klan Fujiwara menjadi puncaknya. Semua pejabat penting di pusat maupun di daerah adalah kerabat klan Fujiwara. Kondisi itu berlangsung lebih dari 10 tahun sehingga masyarakat Ibu Kota memiliki dua wajah, yaitu wajah terang yang menjadi pusat kebudayaan besar dan anggun, dan wajah gelap tempat berkeliarannya berbagai kejahatan. Keduanya berdesakan di Bumi yang sama.

Dua Sisi Kepribadian

Kondisi yang seperti itu benar di depan mata Kojiro (nama kecil Masakado). Kedatangannya ke Kyoto untuk pertama kalinya membelalakkan matanya bahwa ketidakadilan telah terjadi di Ibu Kota.

Perlahan Masakado mendalami kondisi itu. Dan dia pun akhirnya mengetahui akar persoalan kerusakan sistem di Ibu Kota. Dia memulai karier menjadi pelayan dan kemudian menjadi pejabat di pemerintahan.

Masakado adalah lelaki Bando yang kasar. Tetapi, karena pernah tinggal di Ibu Kota selama sekian tahun dan mencoba meniru kehidupan anggun keluarga Menteri Sayap Kanan, tak mengherankan jika dia pernah membuat satu atau dua sajak.

Masakado memiliki dua sisi kepribadian, mirip sisi depan dan belakang perisai. Pada sisi yang satu, sebagai pemimpin yang dengan ganas menaklukkan delapan negeri Bando. Pada sisi yang lain, dia selalu dikuasai kegelisahan. Maka, untuk memuaskan sisi keduanya yang jujur, pada suatu malam di akhir tahun, saat menginap di Dusun Daiho, dia duduk sendirian di depan meja di tempat pemujaan Kuil Daiho Hachiman dan menulis sepucuk surat.

Dia menulis surat pernyataan untuk menyatakan keadaan dan pemikirannya yang sebenarnya terhadap Istana dan pemerintah pusat. Dia sudah muak melihat kebusukan, kebohongan, kepura-puraan yang menyengsarakan rakyat.

Perjuangkan Kebenaran

Cita-citanya hanya sederhana. Dia hanya ingin menjadi orang yang bahagia dan bersahaja d tanah airnya yang damai. Tetapi, keinginan yang sederhana itu pun selalu dihalangi.

Masakado sulit mewujudkan cita-cita mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Melalui jiwa yang tulus, dia pun mulai mengatur strategi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.

Apa yang diretas Masakado ini sepertinya dia ingin memenuhi janji di Gunung Hiei bersama Fujiwara Sumitomo. Kala itu, Masakado dan Sumitomo duduk bersama sembari menengguk secangkir sake. Tiba-tiba, Sumitomo berujar "Kalau muncul orang yang memusnahkan kebusukan pemerintahan yang dikuasai para bangsawan dan memberikan hujan anugerah dan harapan kepada kaum melarat di duni ini, itulah Sumitomo dari Iyo".

Mendengar ucapan Sumitomo tersebut, darah Masakado mendidih. Dia pun kembali bersemangat untuk berperang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Saat itu dia memimpin serangan pemberontakan besar terhadap pemerintah pusat Kyoto. Apa yang direncakan Masakado berbuah manis. Dia pun berhasil menaklukkan beberapa daerah di sekitar Kyoto.

Setelah memenangkan beberapa pertempuran, seraya menunggang kuda, Masakado menjenguk warga di sana-sini. Dengan mata telinganya sendiri, dia menyaksikan dan mendengarkan kesengsaraan mereka. Dia semakin terbelalak melihat kebusukan pemerintahan. Rintihan dan jeritan rakyat menjadikan Masakado semakin bersemangat dan ingin segera mengempur kembali pemerintahan korup di Kyoto.

Melihat tingkah polah Masakado itu, Kaisar pun gusar. Kaisar menganggap Masakado sebagai ancaman. Untuk itu, Kaisar pun menyediakan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa membunuh dan membawakan kepala Masakado kepadanya.

Usaha Kaisar menggejar Masakado tidak lepas dari saran Sadamori. Sadamori mengusulkan kepada pemerintah untuk memutuskan Masakado sebagai musuh Istana.

Dia pun berhasil dibunuh dan kepalanya pun dipenggal untuk dibawa ke Kyoto sebagai bukti. Tanggal 14 Februari, tahun ke-3 Tengyo (940 M) adalah hari kematian Masakado. Usianya baru 38 tahun.

Konon, kepala Masakado sampai di Ibu Kota pada tanggal 24 April. Tulang jenazahnya dikubur di kuil di Desa Shibazaki daerah Edo dan berbagai tempat lain yang memiliki hubungan dengannya. Di kemudian hari, tempat-tempat itu menjadi monumen atau tempat bersejarah. Kenyataan itu membuktikan di wilayah Bando, banyak orang yang merindukan atau mengasihaninya bahkan setelah kematiannya.

Perjuangan Masakado melawan ketidakadilan menjadikan dia dielu-elukan oleh generasi berikutnya. Dia dianggap manusia setengah dewa. Pasalnya, orang-orang yang berada di sekitar kematiannya, selalu dirundung kemalangan. Seperti Tadabumi yang mati dalam amarah atau Sanayori, anak Tadahira, yang sering sakit-sakitan setelah perang itu. Bahkan banyak orang menyebut hal itu sebagai kutukan dari Masakado.

Menilik kisah Masakado yang penuh kejujuran, kesetiaan, dan sikap perjuangan melawan kebusukan tak heran jika Miyamoto Musashi dan Minamoto no Yoritomo mengaguminya.

Data Buku
Judul : Taira No Masakado. Kisah tentang Cinta, Darah & Air Mata
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books, Jakarta
Cetakan: Oktober 2012
Tebal : 635 Halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar