Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 24 Februari 2012

Kebangkitan Tradisi Intelektual Islam



Jurnal Nasional, Resensi, Minggu, 12 Feb 2012

Buku ini berusaha mengisi kekosongan mentalitas rasional, kultur ilmiah, dan etos keilmuan para sarjana muslim secara menyeluruh dan memadukan sains dan filsafat dalam konteks peradaban Islam.

MOCHTAR Naim (2011) menulis dunia Islam sekarang telah memasuki era tamadun Gelombang Ketiga. Tujuh abad pertama adalah era tamadun Gelombang Pertama yaitu dari munculnya Islam di padang pasir Arabia pada abad VII Masehi ke puncak kegemilangannya di Baghdad dan Kordoba pada abad XIV. Lalu tiba masa menurunnya selama tujuh abad kedua, berupa era tamadun Gelombang Kedua yang dirundung kegelapan dan berada di bawah supremasi kekuasaan Barat. Kemudian Perang Dunia II sebagai titik nadirnya sekaligus awal dari era kebangkitan kembali tamadun Gelombang Ketiga.

Tamadun Gelombang Ketika merupakan tantangan sekaligus peluang bagi umat Islam bangkit. Kebangkitan ini tentunya berawal dari sebuah kesadaran diri dan lingkungan (kesejarahan) bahwa umat Islam memeliki khasanah intelektual. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan kejayaan Islam di era Abbasiyah.

Era keemasan Isla tersebut ditandai dengan penerjemahan karya-karya filsuf Yunani dan Romawi ke dalam bahasa Arab. Namun, ilmuwan muslim saat itu tidak hanya berhenti pada proses penerjemahan saja, namun juga berhasil menemukan ilmu-ilmu baru yang sangat berguna bagi kehidupan umat manusia saat ini. seperti Matematika, Aljabar, Astronomi, Fisika, Kimia.

Mentalitas Rasional

Buku karya Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam ini, membuktikan hal tersebut. Dosen di Universitas Paramadina ini secara bernas mengeksplorasi dan menunjukkan bahwa ilmu-ilmu tersebut lahir dari rahim Islam. Seperti, Sayyidina Ali, ilmuan pelopor etos ilmiah; al-Khawarizmi, sebagai Bapak Aljabar; Abu al-Wafa, pengembang Trigonometri; Umar Khayyam, penyair yang merintis Geometri Analitik; al-Farghani, al-Battani, al-Thusi, sebagai pengembang ilmu astronomi; Ibn al-Haitsam, yang dikenal sebagai Bapak Optik, al-Biruni, ilmuan eksperientalis besar; al-Khazini, pencetus Teori Gravitasi; Jabir bin Hayyan, seorang sufi yang Ahli Kimia; al-Razi, Ibn Sina, Abu al-Qasim al-Zahrawi dan Ibn Nafis sebagai pioneer ilmu Kedokteran.

Tidak hanya sekadar menyebut dan menunjukkan kontribusi tokoh-tokoh tersebut, kandidat doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini juga menarik kesejarahan yang memungkinkan kita bersikap kritis dan rasional. Meminjam istilah Mohammed Arkoun, menarik kesejarahan dalam kajian keislaman akan semakin membuka selubung hal-hal yang tak terpikirkan.

Apa yang diusahakan oleh Husain Heryanto setidaknya ingin menumbuhkan kesadaran peradaban pada diri kaum muslim bahwa di satu sisi mereka memiliki kebanggaan sebagai umat yang berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia dan di lain sisi kesadaran ini mendorong mereka untuk memiliki tanggung jawab terhadap peradaban dunia, yang pada gilirannya akan menghilangkan mentalitas "luar pagar" (perasaan terasing dan tersisih dari peradaban) yang dialami oleh sejumlah kaum muslim radikal.

Peluang yang mungkin dan terbuka bagi kita adalah menawarkan kerangka berpikir yang menempatkan Islam sebagai agama dan peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Untuk membangun kerakter irasional respons kaum radikal, kita perlu menyuguhkan strategi membangun mentalitas rasional.

Melalui pembudayaan mentalitas rasional itulah, kita membangun fondasi yang di atasnya akan lahir secara alamiah (bukan hal yang dicangkokkan dari luar) sikap kritis, pola pikir terbuka, toleran, dan perilaku yang proporsional dan penuh perhitungan.

Elaborasi kekayaan tradisi rasional dari tubuh Islam itu sendiri bisa sekaligus menepis anggapan bahwa mentalitas rasional adalah sesuatu yang datang dan dicangkokkan dari luar, yang akan melahirkan sikap reaktif sebagai umat Islam.

Langkah itulah yang sebenarnya diusung oleh Cak Nur, yang sistematis dan kontinu, tidak lagi sekadar simbolik dan seremonial belaka. Artinya, sudah saatnya kita mengeksplorasi ajaran dan tradisi Islam yang memiliki pesan-pesan universal dan kosmopolitan. Dalam hal ini, filsafat sains merupakan dua tradisi ilmiah Islam yang amat kaya dengan doktrin-doktrin yang relevan dan berguna dalam pengembangan mentalitas rasional dan visi kemanusiaan universal.

Buku ini berusaha mengisi kekosongan mentalitas rasional, kultur ilmiah, dan etos keilmuan para sarjana muslim secara menyeluruh dan memadukan sains dan filsafat dalam konteks peradaban Islam. Buku ini bermuara pada optimisme akan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa depan yang searah dan kongruen dengan paradigma dan pandangan dunia Islam.

Di tengah kecemasan sejumlah saintis kontemporer terhadap masa depan sains yang mereka anggap tidak menyisakan celah eksploratif bagi kemunculan temuan dan terobosan saintifik yang besar seperti kerisauan Richard Dawkins terhadap keberakhiran kisah biologi evolusioner. Buku ini mengindikasikan hal sebaliknya jika kita bersedia mengadopsi paradigma keilmuan yang diusung oleh sejumlah ilmuwan muslim.

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan penulis mengeksplorasi dua argumen besar, yaitu analisis historis tradisi saintifik Islam dan analisis filosofis pandangan dunia Islam. Aktualitas pembahasan menjadikan buku ini semakin menarik untuk dikaji dan diperbincangkan lebih lanjut, sebagai salah satu upaya mewujudkan tamadun Gelombang Ketiga atau awal kebangkitan tradisi intelektual Islam.

*)Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

***

Data Buku
Judul: Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam
Penulis: Husain Heriyanto
Penerbit: Mizan Publika, Jakarta
Terbit: Juni 2011
Tebal: xxxix + 392 halaman

1 komentar:

  1. Kita menghendaki kebangkitan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Kebangkitan yang dibenci oleh orang-orang kafir, fasik, munafik, dan para thaghut. Kebangkitan yang membuang representasi kekufuran, kezaliman, kefasikan dan kejahatan untuk menjadikan kita sebagai sebaik-baik umat manusia, kokoh dengan pertolongan Allah dan mendapat penguatan dan bantuan-Nya.

    BalasHapus