Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 09 Maret 2012

Mengungkap “Perang Nikotin”



Judul : Hitam-Putih Tembakau
Editor : Andi Rahman Alamsyah
Penerbit : FISIP UI Press dan LTN PBNU, Depok
Cetakan : 2011
Tebal : xxii + 202 Halaman

Tembakau tanaman penuh kontroversi. Di satu sisi ia telah menghidupi jutaan petani, pekerja di pabrik rokok, dan pedagang rokok. Di sisi yang lain, pemerintah membuat regulasi untuk melarang perokok di pelbagai tempat umum, seperti di DKI Jakarta. Demikian juga dengan adanya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Peringatan merokok merugikan kesehatan. Tidak hanya itu saja, otoritas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun memfatwakan larangan merokok.

Dua hal yang bertolak belakang ini dikupas secara apik dalam buku Hitam-Putih Tembakau ini. Buku ini berasal dari penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang Februari 2011. Penelitian tersebut dilakukan di lima wilayah yang dikenal sebagai daerah pertanian, utamanya tembakau, di Jawa, yaitu Sumedang (Jawa Barat), Demak dan Temanggung (Jawa Tengah), serta Malang dan Pamekasan (Jawa Timur).

Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN)Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini bercerita panjang lebar tentang bagaimana sistem pertanian tembakau mulai dari model pertanian, pola hubungan petani dengan tengkulak, petani dengan perusahaan rokok dan lain-lain.

Tidak hanya pola hubungan petani tembakau saja, namun dalam buku ini juga disuguhkan pelbagai hal dan kompleksitas yang tekait dengan aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya, baik pertanian tembakau maupun nontembakau. Kompleksitas pembahasan ini dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan atau program yang berkaitan dengan pertanian.

Marginalisasi
Buku ini secara tajam dan khusus menukik perhatian kita ke kalangan petani yang paling rentang menjadi korban liberalisasi ekonomi, petani tembakau. Berbeda dengan di era Orde Baru, petani tembakau sama sekali tidak terlindung di era neoliberal. Pelbagai halangan mereka alami. Tidak ada kemudahan akses ekonomi yang mereka peroleh. Bahkan, mereka mengalami proses marginalisasi yang lebih mendalam dibandingkan dengan petani komoditas lainnya.

Kegalauan petani beras, misalnya, lebih mudah menjadi isu publik ketika media massa menayangkan kekeringan yang mereka alami. Simpati atas penderitaan mereka pun mengalir, termasuk dari Kementerian Pertanian. Bahkan pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, berjanji untuk memerikan ganti rugi.

Mengapa para petani tembakau ini mengalami diskriminasi, meski mereka juga warga negara Indonesia, seperti halnya petani beras? Dilihat dari kontribusi mereka yang dipaparkan dalam buku ini, keberadaan mereka sendiri merupakan sumbangan ekonomi yang sangat berharga bagi Indonesia.

Secara nasional, pendapatan pemerintah dari cukai rokok pada tahun 2010 sebesar Rp. 62,14 triliun atau melampaui target yang ditetapkan APBN-Perubahan sebesar Rp. 59,26 triliun. Besarnya jumlah sumbangan terhadap negara ini menempatkan rokok sebagai penyuplai terbesar kedua setelah minyak dan gas (migas).

Lima daerah yang diteliti memiliki wajah pertanian tembakau yang beragam. Akan tetapi, kelimanya memiliki satu keseragaman, pertanian tembakau membawa manfaat yang tak tergantikan bagi daerah-daerah tersebut. Di Sumedang, Demak, dan Malang, luas lahan pertanian tembakau memang berada di bawah komuditas utamanya, namun permintaan pasar yang tinggi menjadi salah satu sendi masyarakatnya. Di dua daerah lainnya, Temanggung dan Pamekasan, lebih lagi, tembakau merupakan komoditas unggulan yang kontribusinya amat besar terhadap produk domestik regional bruto (PDRB).

Pertanian tembakau di Temanggung misalnya, walaupun luas lahannya lebih kecil dibandingkan dengan jagung dan padi, namun perputaran uang pada masa panen tembakau mencapai Rp. 900 miliar.

Sama seperti di Temanggung, besarnya jumlah uang yang dihasilkan dari pertanian tembakau juga tinggi di Malang dan Pamekasan. Di Malang, dana bagi hasil cukai hasil tembakau dinas (DBHCHT) mencapai Rp. 28 miliar. Sedangkan di Pamekasan mencapai Rp. 23 miliar dan menduduki terbesar ketiga di Jawa Timur setelah Kediri dan Malang.

Padahal di Pamekasan tidak terdapat pabrik rokok besar seperti di dua kota tersebut. Perputaran uang dari pertanian tembakau di Pamekasan mencapai Rp. 497,5 miliar. Bandingkan dengan pertanian garam, sektor pertanian dominan lainnya di wilayah ini, yang kontribusinya hanya mencapai Rp. 24,4 miliar (hal 180).

Perang Nikotin
Walaupun tidak secara terang, buku ini sepertinya ingin menguatkan gagasan Wanda Hamilton. Wanda Hamilton dalam Nicotine War (2010) mengemukakan bahwa terlalu naïf untuk melihat konvensi pengendalian tembakau semata berangkat dari dalih-dalih kesehatan. Aktivis yang memandang globalisasi dengan skeptis ini mengajak pembacanya menengok sisi lain kontroversi tembakau; ia tidak lain adalah pertarungan perusahaan-perusahaan raksasa global. Pendukung utama gerakan antitembakau adalah tiga perusahaan farmasi global (Novartis, Glaxo Wellcome, dan Pharmacia & Upjohn) yang dipaparkan Hamilton juga menjadi penyokong dana program pengendalian tembakau melalui Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Initative/FTI) dan melahirkan WHO FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

Perusahaan-perusahaan tersebut adalah produsen utama Nicotine Replacement Treatment (NRT), produk terapi pengganti nikotin yang diakui efektif memacu individu menghentikan kebiasaan merokok. Dengan kata lain, kampanye kemanusiaan antitembakau merupakan selubung pamasaran produk industri farmasi. Situasi ini digambarkan oleh Hamilton sebagai “perang nikotin”, perang antara pedagang obat dengan pedagang rokok. Sebuah buku yang layak didiskusikan lebih lanjut (hd04032012).

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

3 komentar:

  1. Gencarnya diskriminasi terhadap tembakau dan rokok adalah karena gencarnya kampanye global antitembakau dan lemahnya sikap pemerintah untuk mengkritisi kampanye global itu, melelui Kemenkes, pemerintah justru satu baris dengan LSM antirokok untuk mendorong konvensi FCTC, padahal FCTC tidak harus diterapkan jika memang merugikan kepentingan masyarakat sendiri, dalam hal ini adalah kepentingan petani tembakau dan semua yang terlibat dalam industri rokok, terutama rokok kretek sebagai produk asli Indonesia.

    BalasHapus
  2. Terima kasih. Dalam buku tersebut setidaknya mengulas hal tersebut. Termasuk kearifan lokal petani tembakau yang benar-benar Indonesia. Nuwun. Salam

    BalasHapus
  3. Setelah pembatasan perluasan kebun kelapa sawit yang ditekan oleh Malaysia, kini giliran tembakau.....siapakah yang menekan ?
    Kapan negeri kita akan sanggup menahan tekanan seperti itu ?

    sebuah pandangan perokok dari sisi ekonomi politik...

    BalasHapus