Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 07 Agustus 2011

Alain Badiou Sebuah Pengantar



Resensi Seputar Indonesia, Minggu, 07 August 2011

Pemikiran Alain Badiou masih sangat asing bagi rakyat Indonesia. Berbeda dengan filsuf kiri kontemporer lain seperti Slavoj Zizek dan Ernesto Laclau yang terjemahan karyanya maupun pengantar ke dalam pemikirannya sudah terbit dalam bahasa Indonesia.


Nama Alain Badiou hanya tampil samar-samar bak halimun dalam ruangruang kultural yang eksklusif. Kalau pun namanya disebut dalam ruang kuliah, itu pun hanya selintas untuk kemudian lenyap kembali digantikan oleh nama-nama yang lebih terkenal.

Dalam konstelasi seperti ini,label “Alain Badiou”rentan jadi sebaris mantra kultural yang merujuk pada suatu X yang tak terpahami,pada suatu X yang hanya terpahami oleh segelintirTuan “Inteligensia”– bahkan jika sejatinya yang segelintir itu pun tak terlalu tahu tentang seluk-beluk dan asal muasal pemikiran Badiou.

Alain Badiou lahir di Rabat, Maroko, 17 Januari 1937. Ia lulus dari ENS pada 1962 dan ia memulai karier akademiknya dengan menjadi guru di Lycee atau sekolah menengah di Reims antara tahun 1963 sampai 1968. Ia menulis dua novel berjudul Almagester(1964) dan Portulans (1967).

Ia juga memublikasikan beberapa artikel yang berada dalam garis rekonstruksi Marxisme yang digawangi oleh Louis Althusser.Misalnya,artikel Le (Re)commencement du materialism dialectique (Dimulainya- kembali Materialisme Dialektis) dalam jurnal Critique (1966). Pada 1968 Badiou memberikan ceramah di ENS dalam seri kuliah yang diorganisasikan oleh Althusser.

Ceramah ini kemudian ia terbitkan sebagai buku pada tahun 1969 dengan judul Le Concept de Modele (Konsep tentang Model) yang berisi pemaparan matematis atas tema Althusserian tentang separasi sains dan ideologi.

Pada 1968 Badiou mendapatkan posisi mengajar di Universitas Paris VIII (dikenal juga sebagai Universitas Vincennes) di Saint-Denis, sebuah universitas yang baru saja dibentuk oleh pemerintah dan segera saja menjadi benteng mahasiswa kiri Prancis pada waktu itu.

Pada awal 70-an, Badiou melancarkan kritik keras atas oposisi anarkistis Deleuze dan Guattari yang tercermin dalam buku mereka, Anti-Oedipus, sebuah buku yang mengartikulasikan semangat Mei ’68 dalam rangka perlawanan atas kapitalisme melalui “pembebasan hasrat”.

Pada 1982 ia menerbitkan buku Theori du sujet (Teori tentang Subjek) yang mengartikulasikan visi Maoisnya tentang subjek revolusioner.Tiga tahun kemudian, bersama dengan Sylvain Lazarus dan Natacha Michel, Badiou mendirikan I’Organisation Politique setelah bubarnya UCFML.

Melalui organ baru ini,Badiou memperjuangkan hak-hak bagi kaum imigran yang pada waktu itu hadir sebagai problem politik aktual masyarakat Prancis. Karier akademik-internasional Badiou baru dimulai tahun 1988, yakni dengan terbitnya L’Etre et l’evenement (Ada dan Peristiwa).

Dalam buku tersebut Badiou memaparkan suatu teori umum tentang situasi dan emansipasi. Pada 1989 bersama Jacques Derrida, Francois Chatelet, Dominique Lecourt,dan Jean-Francois Lyotard, Badiou mendirikan College Internationale de Philosophie.

Posisi akademiknya yang terakhir adalah sebagai profesor emeritus sejak tahun1999 di ENS di mana ia mendirikan Pusat Studi Internasional tentang Filsafat Prancis Kontemporer (Centre International d’Etude de la Philosophie Francaise Contemporaine, CIEPFC).

Melalui buku ini, Martin Suryajaya menunjukkan bahwa pemikiran kontemporer dapat diterjemahkan ke dalam kosakata Marxisme klasik dan dengan demikian menelanjangi kebaruanspekulatifyangumumnya disematkan kepadanya.

Segala kesan tentang “kebaruan absolut”, dalam hal ini sesungguhnya muncul dari kecenderungan intelektualkelas menengah kita yang takut akan sejarah dan karenanya lebih senang bermain dalam jargon-jargon hype tentang segala apa yang disebut “kontemporer” sembari mengecam segala yang muncul dari sejarah sebagai “kuno”.

Tentu saja ada kebaruan dalam pemikiran para tokoh itu namun kebaruan itu tak bisa dilepaskan dari konteks sejarahnya. Buku ini berupaya secara telaten mengupas kontekskonteks sejarah itu sehingga menunjukkan bahwa ada kebaruan yang memang muncul dari pemikiran itu dan ada “kebaruan absolut” yang tak lebih dari akibat ketidaktahuan kita sendiri tentang sejarah.

Lebih lanjut, posisi pemikiran Badiou sebagaimana direkonstruksi dalam buku ini sepenuhnya berlawanan dengan tafsiran atasnya yang akhir-akhir ini merebak di kalangan “inteligensia” dan/ atau budayawan Indonesia, khususnya Jakarta.

Tafsir umum yang menjamur itu direpresentasikan dengan sederet buku dan artikel yang memberikan pengantar kecil atas filsafat Badiou atau pun sekadar menyebut dan melabelinya. Seperti tulisan Rocky Gerung, Robertus Robet, Ronny Agustinus, dan Bagus Takwin dalam Robertus Robet dan Ronny Agustinus (ed), Kembalinya Politik (2008); Goenawan Mohammad, Rocky Gerung, dan Robertus Robet dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (ed), Demokrasi dan Kekecewaan(2009).

Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara ini mengkritik atas pembacaan mereka terhadap Badiou. Baginya, pemikiran Badiou oleh mereka sepenuhnya dilepaskan dari konteks perdebatan yang internal dalam Marxisme.

● Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar