Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 27 Oktober 2013

Transformasi ala Hendrik Lim


Resensi, Koran Sindo, Minggu, 27 Oktober 2013

Di dalam dunia bisnis dan ekonomi yang amat cepat berubah saat ini, transformasi bukanlah sebuah opsi, tetapi mandatory jika perseroan ingin tetap exist dan makin bertumbuh.

Ada banyak sekali drivers of business change, beberapa di antaranya knowledge economy, e-commerce, konvergensi digital, dan integrasi pasar. Semua ini menciptakan landscape bisnis yang baru, yang berakibat pada shifting of competitiveness.

Bagi perseroan yang ingin produk atau jasanya tetap relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat konsumen, transformasi perseroan sejatinya menjadi the way of business survival. Transformasi bisa diibaratkan dengan perjalanan ke area yang belum kita kenal. Transformation is a journey to challenge unfamiliar territory. Untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan transformasi, beberapa hal dasar ini perlu dipersiapkan oleh perseroan yaitu mentalitas, milestone, skala prioritas, kompas, peta, dan rambu-rambu perjalanan. Perlu juga memahami pitfall atau jebakan transformasi. Semua ini dibutuhkan untuk memastikan “bekal” resources perseroan bisa dipakai secara tepat dan efektif sepanjang jalan.

Langkah Fundamental

Buku Adaptif, Besar, Gesit, Model, dan Framework Transformasi Perseroan yang ditulis Hendrik Lim ini menyuguhkan langkah fundamental yang disajikan secara praktis untuk membantu perseroan melakukan transformasi kinerja. Melalui bacaan dan cara pandang yang disajikan dengan runtut yang jelas ini, sebuah perusahaan akan mampu bertahan di tengah semakin tingginya daya saing.

Buku ABG karya mantan Presiden Direktur/CEO Subsidiaries pada Djarum Grup ini mengurai bagaimana perseroan bisa semakin adaptif, besar, dan gesit memasuki era pasar bebas ASEAN. Pasar bebas mensyaratkan kesigapan perseroan agar mereka dapat membaca tanda perubahan zaman. Lebih lanjut Hendrik Lim jelas menyatakan buku ini sebuah usaha untuk menciptakan perseroan yang bisa makin besar, makin gesit, dan makin adaptif dengan memahami penggerak utama perilaku organisasi dan dasar kekokohan bisnis.

Kekokohan bisnis membutuhkan berbagai pendekatan (halaman 77-134). Ada yang masuk dari front business culture, business process, dan business content. Ada pula yang tidak masuk dari pilarpilar tersebut. Maksudnya, dalam segi business content, mereka tetap saja dalam content seperti sedia kala. Hanya cara pandang mereka terhadap bisnis yang mereka geluti itu yang berbeda secara fundamental.

Pria yang pernah menimba ilmu di Asian Institute of Technology dan Singapore- Stanford USA itu mencontohkan Bank Centra Asia (BCA). Sejak dua dekade lalu mulai melihat bahwa bank akan menjadi medium transaksi dan payment (pembayaran), tidak lagi sekadar sebagai lembaga saving-financing (penyimpanan uang). Atas pemikiran cerdas ini, BCA kemudian melakukan gerak langkah antisipasi strategis. Mulai dari investasi jaringan, teknologi, ATM, dan berbagai fitur payment yang melekat dengan ATM. Melalui langkah maju yang belum terpikirkan oleh bank lain, BCA menjadi kampiun perbankan swasta nasional.

BCA pun mampu bertahan di tengah badai krisis keuangan. Langkah adaptif BCA ini pun kemudian ditiru oleh bank-bank lain. Kini ATM dan fitur payment lain bahkan menjadi nilai plus dan pilihan bagi nasabah untuk bertransaksi. Terobosan BCA ini seakan menjadi penanda zaman bahwa masyarakat semakin enggan berlama-lama berurusan dengan bank. Mereka ingin serbainstan dan cepat karena waktu menuntut hal demikian.

Langkah Gila

Maka itu, transformasi perseroan membutuhkan langkah gila. Langkah berani mewujudkan mimpi dengan membaca arah masa depan. Melalui buku ini, Hendrik Lim ingin menebarkan semangat, cara pandang, dan seperangkat nilai dan alat (tool kit) yang akan membuat perseroan Anda semakin matang dalam melakukan transformasi. Akhirnya transformasi organisasi perseroan adalah sebuah perjalanan untuk menantang nyali dan rasa takut (fear) secara kolektif dalam organisasi.

Transformasi tidak mengenal “secured perimeters”, jadi ia menantang keberanian untuk melangkah meskipun semua jawaban belum ada di tangan. Akan ada banyak hal yang justru hanya akan terbuka ketika langkah transformational actiontelah dijalankan. Ini juga bukan jalan yang gampang. Tapi, sebuah langkah yang perlu, untuk memastikan perseroan tetap sustain dan exist di tengah deru perubahan pasar dan selera konsumen yang amat cepat berubah.

Tidak semua perseroan memerlukan buku ini. Buku ini hanya dikhususkan bagi mereka yang benar-benar ingin melihat hijrah besar dalam kehidupan corporate life. 

Benni Setiawan
Adalah penggiat Karangmalang C15 dan dosen luar biasa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 20 Oktober 2013

Mengajarkan Pendidikan Seumur Hidup

"Resensi", Koran Sindo, Minggu, 20 Oktober 2013


Pendidikan menjadi ruh bangsa. Jika pendidikan tersemai dengan baik, maka ia akan menghasilkan keadaban publik. Sebaliknya, jika pendidikan tidak mampu melakukan itu, maka kebangsaan akan rusak, yang pada gilirannya manusia semakin saling mengerkah.

Maka dari itu, pendidikan selayaknya diarahkan pada proses yang benar. Artinya, ia harus bertumpu pada kemanusiaan. Kemanusiaan yang menjamin setiap insan mampu melakukan kegiatan keseharian berdasarkan kesadaran diri dan lingkungannya. Mereka pun bertindak atas nama kemandirian.

Kemandirian yang akan mengantarkannya pada penemuan jati diri dan bertindak dalam ranah keadaban (homo homini socius). Kajian pendidikan di atas telah diretas oleh Maria Montessori sejak 6 Januari 1907 di Via dei Marzi 58. Saat itu Montessori yang berlatar belakang pendidikan dokter meresmikan pembukaan Casa dei Bambini yang pertama.

Manusia Mandiri

Nama itu muncul atas usulan Talamo, teman Montessori. Montessori dan Talamo menyukai nama tersebut dan memutuskan untuk menamakan pusat penampungan anak yang akan mereka resmikan itu Casa dei Bambini atau rumah bagi anak-anak. Maria Montessori yang lahir pada 31 Agustus 1870 di Kota Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia Utara, itu melakukan eksperimen pendidikan.

Setelah melakukan observasi terus menerus terhadap perilaku anak, akhirnya Montessori menyimpulkan bahwa, pertama, semakin menantang materi pembelajaran melalui alat peraga yang disiapkan dengan pengendali kesalahan yang ada dalam alat peraga tersebut, semakin materi itu menarik bagi anak-anak. Kedua, anak-anak melakukan kegiatan tidak karena tertarik pada hadiah, melainkan pada keinginan menaklukkan materi pembelajaran tersebut.

Ketiga,pendidikan harus mengikuti perilaku alami anak dan menyiapkan lingkungan yang bisa mendorong kegiatan spontan belajar agar anak mampu memanifestasikan dirinya melalui kegiatan belajar tersebut (halaman. 51). Melalui hal tersebut, tujuan pokok yang hendak dicapai Montessori adalah membuat anakanak mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri. “Tak ada orang bebas, kecuali dia mandiri” adalah moto terkenal Montessori yang menjadi filosofi penting dalam pendekatannya.

Oleh karena itu, dalam pendekatan Montessori, hampirtidakpernah ditemukan hukuman. Hukuman yang diberikan hanya mengisolasi anak untuk tidak bergerak dan tidak melakukan apa pun (halaman 54). Doktrin lain yang diajarkan Montessori adalah “manusia itu berhasil bukan karena sudah diajarkan oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami dan melakukannya sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik”.

Oleh karena itu, guru dalam lingkup pendekatan Montessori tidak lagi disebut sebagai guru, melainkan direktris karena fungsi guru lebih sebagai pengarah, fasilitator, dan observatoryatau pengamat (halaman 55). Melalui sikap tersebut, guru dan siswa mempunyai tugas yang sama. Yaitu mengembangkan kemanusiaan. Manusia yang senantiasa belajar sebagai proses penghargaan diri dan mensyukuri karunia Tuhan.

Hal tersebut terbaca dalam filosofi Montessoriana. Yaitu menghargai ciptaan tersempurna Tuhan melalui penghargaan terhadap manusia sejak ia dikandung, dilahirkan, menjadi anak-anak, bertumbuh remaja, dan akhirnya menjadi dewasa dan mampu menciptakan tatanan dunia baru yang penuh damai, sejahtera, dan bahagia sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan.

Ki Hajar Dewantara

Agustina Prasetyo Magini dalam buku Sejarah Pendekatan Montossori ini pun mengungkapkan bahwa pemikiran Montessori telah masuk ke Indonesia. Pembawa gagasan Montessori adalah Ki Hajar Dewantara saat ia berada di Belanda pada masa pengasingannya pada 1913–1919. Ki Hajar Dewantara, Boedi Oetomo, dan Ernest Douwes Dekker ditangkap oleh Gubernur Jenderal Belanda Frederik Idenburg akibat tulisannya di suatu media massa.

Di tempat pengasingan itulah, Ki Hajar Dewantara melanjutkan profesinya sebagai wartawan dan mulai membuat gerakan pendidikan dengan mengajar di sekolah saudaranya. Pada tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Moto pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani”.

Artinya, seorang guru, di depan menjadi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Pemikiran peran guru sebagai teladan, penyemangat, dan pendorong siswa merupakan pemikiran Montessori. Montessori dalam buku The Montessori Method menekankan bahwa peran guru harus tidak menjadi penghalang siswa untuk berkembang. Guru tidak lagi sebagai figur yang super, melainkan lebih sebagai pengarah atau direktris, teladan, dan observer atau peneliti kebutuhan perkembangan ananak. 

Benni Setiawan,
Pegiat Karangmalang C15
Universitas Negeri Yogyakarta.