Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 12 Juni 2015

Jawaban Buya atas Persoalan Islam

Oleh Benni Setiawan


Rak, Suara Merdeka, Selasa, 9 Juni 2015

Tahun ini genap 80 tahun usia Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii, bukanlah tokoh Islam kemarin sore. Ia telah lama mendedikasikan dirinya untuk kemajuan Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai ucapan rasa syukur, Maarif Institute dan Mizan menerbitkan buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, ini.

Buku ini seakan menjadi jawaban logis dan ilmiah dari seorang Ahmad Syafii Maarif terhadap persoalan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Buya Syafii ingin menegaskan ketiganya bisa bersinergi dan menjadi modal sosial bangsa. Melalui buku ini pendiri Maarif Institute itu ingin menegaskan bahwa Islam mempunyai corak beragam dan tentunya sangat berhimpitan dengan budaya lokal.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyebut, bahwa Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan. Akan tetapi, praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional, atau pun global. Ini alamiah belaka, orang tidak perlu berdebat tentang partikularitas Islam yang sudah menyejarah itu. Yang harus dikawal lekat adalah doktrin pokoknya berupa tauhid, iman, dan amal saleh, semuanya ini tidak boleh tercemar. Ia harus utuh sebagai fundamen dari sistem iman seorang muslim.

Oleh sebab itu, bukanlah sebuah kesalahan terminologis jika ada sebuah Islam India, Islam Nigeria, Islam Amerika, Islam Iran, Islam Pantai Gading, Islam Jepang, Islam Arab Islam Turki, Islam Chad, Islam Brunei, Islam Cina, Islam Prancis, Islam Indonesia, dengan segala variasinya, dan seterusnya.

Hidup Berdampingan

Jangankan yang serba-besar itu, orang juga biasanya menyebut Islam menurut paham Muhammadiyah, paham NU, paham Persis, Islam paham garis keras, dan lain-lain (halaman 11- 12). Beragam corak itulah yang mengokohkan Islam. Islam senantisa mampu hidup berdampingan dengan segala sistem sosial yang ada.

Bahkan, tegas Buya Syafii, Islam jika dipahami secara benar dan cerdas akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat untuk mengukuhkan keindonesiaan kita di bawah naungan payung, ”ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu manifestasi iman kita dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.

Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan harusnya dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur yang bertebaran yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merasa aman dan tenteram untuk bertahan di Benua Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas (halaman 41-42).

Siapa pun tidak bisa, dan memang tidak perlu, mengabaikan dimensi dan pengaruh lokal, selama semuanya itu menyangkut aspek kultural yang dibenarkan al-Qur’an. Sesungguhnya yang menjadi musuh keragaman adalah mereka yang ingin memonopoli kebenaran, dan jika perlu, Tuhan ”diperalatnya” (halaman 207).

Buya Syafii melalui buku ini pun secara gamblang dan tegas bahwa untuk membangun Indonesia yang seluas dan sebesar ini jelas tidak gampang. Akan tetapi, apakah pengalaman keberhasilan atau kegagalan kita selama sekian dasawarsa belum cukup juga untuk menjadikan kita sebagai bangsa yang siuman?

Kita tidak saja memerlukan otak-otak besar yang telah dan akan lahir dari rahim bangsa ini, tetapi juga, dan mungkin malah yang paling mendesak, punya hati nurani yang bersih, sebersih air Danau Matano di Sorowako. Otak cerdas telah banyak dilahirkan, tetapi hati yang cerdas dan tulus masih perlu diperjuangkan.

Bagaimana mengawinkan antara otak dan hati, itulah sebenarnya yang perlu dilakukan oleh seluruh sistem pendidikan kita di masa depan yang tidak terlalu jauh. Kecerdasan otak dapat melahirkan para ilmuan dan teknolog besar.

Namun, itu belum cukup, harus didampingi oleh kecerdasan hati yang akan membuahkan kearifan dan sikap timbang rasa yang adil.

Buku ini seakan menjadi curahan gagasan Buya Syafii terkait Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Dengan integritas tinggi tampaknya karya ini layak disebut sebagai masterpiece seorang Ahmad Syafii Maarif. Buku ini wajib Anda baca.

3 komentar: