Meraih Cita

Meraih Cita

Kamis, 27 Desember 2012

Inspirasi dari Orang Biasa



Oleh Benni Setiawan*)

Judul : Berbagi Ilmu Berbagi Harapan. Orang-orang Biasa dengan Semangat Luar Biasa
Penulis : Tim Penulis
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : November, 2012
Tebal : xxx + 224 Halaman

Resensi, Seputar Indonesia, 23 Desember 2012

Kisah sukses tidak mesti lahir dari orang-orang besar. Orang kecil atau biasa pun mampu menularkan spirit kemandirian berbekal prinsip-prinsip sederhana yang kadang kita acuhkan.

Jika mau melihat dengan mata lebih terbuka, maka kita akan mendapatkan banyak sekali ilmu pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan sekitar. Tidak usah terlalu muluk-muluk untuk belajar kepada pengusaha besar hanya untuk mendapatkan motivasi dan inspirasi . Hal ini tentu tidak salah, jika kita bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari mereka. Namun, akan keliru jika mengabaikan orang-orang di sekitar kita, yang punya prestasi bagus di bidang wirausaha dan layak menjadi inspirasi.

Kejujuran
Misalnya, seorang warga biasa, sangat sederhana, pemalu, dan lebih tepat disebut sebagai pria lugu. Namun, sukses sebagai pebisnis jual beli mobil dengan showroom mobil bekasnya. Tampangnya boleh lugu, tapi semangat juangnya setara dengan keperkasaan seorang jenderal bintang empat.

Ia adalah Muhammad, yang Sekolah Dasar (SD) saja tak tamat, kosa kata Bahasa Indonesianya pun terbatas, hanya tahu ilmu tentang sepeda onthel, tapi dengan spirit ingin mengubah nasib, mampu mewujudkan mimpi-mimpi orangtuanya. Hidup “menggembel” di emperan took di Surabaya diterimanya dengan penuh ikhlas. Dari sinilah roda hidup berputar sesuai daya juang yang dikayuhnya. Awalnya hanya berjualan sepede onthel bekas, namun, kini telah memiliki showroom mobil bekas dengan penjualan lebih dari 20 kendaraan per bulan.

Kunci kesuksesan Haji Muhammad di Probolinggo, Jawa Timur ini adalah kejujuran. Ia dengan penuh kesadaran jiwa menyatakan bahwa meraih keuntungan melimpah bukan berarti harus menghalalkan segala cara. Melalui proses kerja jujur inilah, usaha Muhammad berkembang dengan pesat. Spirit kejujurannya pun juga menular kepada karyawannya. Sebuah semangat kebajikan yang menginspirasi banyak orang.

Merangkul Orang Lain
Kisah sukses dari seorang yang tak tamat SD juga hadir dalam balutan prinsip sederhana ala Pak Wongso. Pak Wongso adalah pria yang takut ketinggian. Ia pun terkenal pemalu dan tak percaya diri menghadapi orang berdasi. Ia tidak pernah naik pesawat terbang sebelumnya. Namun, ia sukses sebagai pengusaha produsen furniture.
Berkat ketekunannya menjalankan usaha, kini dia bisa menikmati hidup dengan penuh berkah. Padahal sebelumnya dia adalah tukang lemari dan tirai keliling. Ia pikul semua barang dagangannya dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung. Panas, perih, lapar, dan haus tak dipedulikannya. Cemooh dari beberapa orang di tepi jalan tak dihiraukannya.

Kini, berkat kesucian niatnya untuk menghidupi keluarga, Pak Wongso bukanlah Wongso yang dulu. Wongso sekarang sudah bisa membangun rumah sendiri, mempunyai beberapa karyawan, dan puluhan distributor untuk produk-produk mebel dari limbah kayu.
Kunci sukses Wongso terletak pada keuletannya. Ia menjadikan sesuatu yang dalam pandangan orang banyak tidak berguna, namun, menjadi permata ketika diolah dengan ketelatenan. Limbah kayu yang kotor pun menjadi sumber rizki yang halal.

Keberhasilan Wongso juga berkat kemauannya merangkul semua orang, terutama orang miskin. Wongso sadar bahwa ia terlahir bukan dari orang berpunya. Maka guna meraih kesuksesan ia membuka diri untuk bekerjasama dengan banyak orang. Sebuah nilai kesederhanan yang tampaknya kini telah mulai luntur dari spirit kebangsaan.

Orang Kecil
Apa yang diiretas oleh Muhammad dan Wongso seakan membenarkan apa yang telah dinyatakan oleh Einstein. Fisikawan terkemuka ini sekian tahun lalu pernah menyatakan, berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah untuk menjadi manusia yang berguna.

Keberhasilan akan terasa lebih manis ketika “dirayakan” bersama banyak orang. Pasalnya, kesuksesan kita hari ini tidak pernah lepas dari campur tangan orang lain. Proses kehidupan dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial telah mampu membentuk diri kita.

Buku Berbagi Ilmu Berbagi Harapan, Orang-orang Biasa dengan Semangat Luar Biasa ini merupakan kumpulan kisah sukses dari sepuluh manusia terpilih (the choosen people). Mereka bukanlah orang-orang besar, bertitel, keturunan orang besar, dan bertabur sorot dan catatan wartawan. Mereka adalah orang-orang kecil. Namun, mereka telah menunjukkan kepada kita secara gamblang bahwa kesuksesan tidak pernah lepas dari proses panjang. Sukses pun perlu diraih dengan semangat dan cita-cita besar. Tanpa hal yang demikian, kesuksesan hanya menjadi dongeng, tanpa pernah mewujud.

Kisah sepuluh orang sukses dalam buku ini, dalam penilaian FIF sangat pas mewakili semangat berbagi ilmu dan berbagi harapan. Negeri ini membutuhkan para pioneer yang berada dekat di lingkungan masyarakat. Para perintis perjuangan hidup yang bekerja dan berkarya from zero to hero. Mereka berjuang dari titik nol. Dengan segala keterbatasan ekonomi dan kemampuan, mereka bangkit untuk menata hidup, selangkah demi selangkah. Mereka telah teruji mampu bertahan hidup, menyelesaikan problem ekonomi dan keuangan, serta membuat kagum lingkungan sekitar di tengah pahit getirnya dunia yang dilakoni. Bagaimana dengan Anda? Sebuah karya sederhana yang penuh nilai.

Jumat, 14 Desember 2012

Pekerja Sosial di Dua Negeri Serumpun



Oleh Benni Setiawan
Jurnal Welfare Vol 1. Nomor. 1 November 2012

Judul : Pendidikan dan Praktik Pekerja Sosial di Indonesia dan Malaysia
Editor : Edi Suharto, Ph.D; Azlinda Azman., Ph.D; Ismail Baba., Ph.D.
Penerbit: Samudra Biru, Yogyakarta
Cetakan : Desember, 2011
Tebal : xiv + 344 Halaman

Isu yang dibahas dalam studi pekerja sosial sangat beragam sebagaimana kompleksitas kehidupan manusia. Untuk kepentingan metodologi ilmiah perlu kajian yang spesifik dan obyektif.

Namun, di tengah kompleksitas persoalan pekerja sosial, masih sedikit referensi yang dapat dirujuk. Kehadiran buku Pendidikan dan Praktik Pekerja Sosial di Indonesia dan Malaysia ini setidaknya dapat menambah referensi untuk tidak menyebut mengisi kekosongan referensi tentang pekerja sosial.

Buku ini merupakan penyempurnaan dari buku sebelumnya, Pekerja Sosial di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Perkembangannya yang juga diterbitkan oleh “Samudra Biru”. Sebagai buku penyempurnaan, maka karya ini layak jadi referensi bagi akademisi , praktisi, dan penentu kebijakan di bidang kesejahteraan sosial.

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan penulis yang notabene praktisi dan akademisi dalam studi pekerja sosial yang mencerminkan perkembangan dan dinamika di dua negeri serumpun.

Kurikulum
Hal ini tercermin dalam catatan Edi Suharto. Ia menulis bahwa pendidikan pekerja sosial di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar khususnya berhubungan dengan keberadaan standar kurikulum pendidikannya. Hingga saat ini standar kurikulum pendidikan pekerja sosial di indonesia masih dalam proses perumusan. Tidak heran apabila antar-masing-masing lembaga pendidikan pekerja sosial tidak seragam. Kondisi ini makin diperparah oleh animo mahasiswa yang relatif rendah dan bahkan cenderung menurun terhadap pendidikan pekerjaan sosial ini (halaman 11).

Penyusunan kurikulum yang tidak sama pun terjadi di UIN Sunan Kalijaga. Menurut Asep Jahidin, sejarah dan proses dialektika kemunculan program Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS) di UIN Sunan Kalijaga tergolong unik dan memiliki epistemologi yang luar biasa. Karena lahirnya IKS adalah hasil dialog yang a lot dan panjang antara nilai-nilai dan ajaran Islam tentang kajian kemasyarakatan kemudian dipertemukan dengan tradisi pekerja sosial yang sarat dengan metodologi Barat modern mengenai ilmu kesejahteraan sosial.

Ajaran Islam tentang kehidupan sosial banyak diungkapkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ajaran ini kemudian dijadikan sebagai landasan nilai dan pedoman masyarakat muslim dalam kehidupan keseharian, baik sebagai individu maupun masyarakat.

UIN Sunan Kalijaga berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan social worker sekaligus menguasai clinical social work dan community development. Apa yang bisa dilakukan adalah membuat kesatuan keilmuan agama dan pekerja sosial dalam sebuah kurikulum.
Pengembangan keilmuan dan semangat zaman niscaya dipertemukan dalam sebuah kesatuan kurikulum yang disiapkan untuk menjadi tantangan zaman. Mengingat pentingnya kontribusi Ilmu Kesejahteraan Sosial yang di dalamnya mengkaji tentang teori dan praktik pekerja sosial terhadap penanganan persoalan yang ada di masyarakat. Baik persoalan sosial maupun bencana alam yang berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat, maka menjadi sangat penting bagi para ilmuan dan praktisi pekerja sosial untuk selalu berjuang mengembangkan dan melahirkan teori-teori mutakhir di bidang pekerja sosial ini.

Perkembangan kondisi yang terjadi di masyarakat juga harus menjadi pertimbangan dalam menyusun kurikulum karena kurikulum yang dibangun pada akhirnya ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi tantangan zamannya. Maka dalam setiap pengkajian kurikulum yang dilakukan oleh IKS UIN Yogyakarta pemaduan antara budaya masyarakat setempat dengan teori-teori pekerja sosial senantiasa dipertimbangkan untuk saling memberikan penguatan satu sama lain. Hal ini diharapkan akan memberikan cara pandang serta keterampilan khusus kepada para mahasiswa yang mengikuti pendidikan pekerja sosial di UIN Sunan Kalijaga (halaman 17-18).

Persoalan kurikulum ternyata juga menjadi perbicangan di Negeri Jiran Malaysia. Hal ini setidaknya tercermin dalam kurikulum pekerja sosial di Universitas Sains Malaysia (USM). Di USM komponen kurikulum lebih ditekankan pada aspek praktikum. Melalui praktikum USM berupaya mengembangkan dan memadukan pengetahuan, nilai, etika, dan kemahiran secara praktis. Praktikum pun dilakukan secara bertahap guna melatih mahasiswa mempelajari dari hal sederhana menuju yang lebih kompleks.
USM pun mengembangkan jejaring praktik kurikulum melalui kerja praktikum antarbangsa. Melalui program ini mahasiswa akan semangat mengenal kebangsaan antar dua negara (Indonesia dan Malaysia), Melalui program ini mahasiswa mendapat keuntungan melalui program komunikasi antarbangsa, pengenalan budaya, dan juga lokal wisdom.

Melalui program ini USM terus meningkatkan kerjasama dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung guna terus meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bidang pekerja sosial melalui pembenahan kurikulum berdasarkan pengalaman dua institusi (halaman 139-149).

Memberi Solusi
Apa yang ditulis dalam buku ini mencerminkan kompleksitas permasalahan dalam pekerja sosial. Akan tetapi, para ahli ini tidak hanya meninggalkan persoalan, mereka pun berusaha memberikan solusi guna mengurai pelbagai persoalan pekerja sosial. Seperti aplikasi teknologi partisipatif, pemberdayaan melalui perspektif lokal, dan lain-lain.

Pada akhirnya, buku ini cukup representatif dalam mengulas persoalan-persoalan
mendasar dalam pendidikan dan praktik pekerja sosial di Indonesia dan Malaysia. Sebuah buku yang layak menjadi referensi utama di tengah sedikitnya buku-buku pekerja sosial yang berbicara dalam banyak perspektif dan dimensi dengan kajian yang mendalam.

Minggu, 02 Desember 2012

Mendedah Konflik Etnis di Indonesia

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012

Judul : Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia
Penulis : Jacques Bertrand
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan : 2012
Tebal : xi + 384 Halaman

Konflik antar etnis seakan menjadi hal lumrah di negeri ini. Belum selesai mengurai akar konflik di Bima Nusa Tenggara Barat, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan konflik etnis di Lampung Selatan. Setidaknya 14 orang meninggal dalam peristiwa beradarah ini.

Mengapa konflik senantiasa menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia? Jaques Bertrand dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam model kebangsaan indonesia.

Baginya, model kebangsaan Indonesia telah melahirkan kategori kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Meskipun model tadi didasarkan pada suatu konsep sipil, yakni bahwa kewarganegaraan harus diberikan kepada semua orang yang tinggal dibekas Hindia-Belanda, pengungkapannya dalam perundang-undangan telah menyingkirkan atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Suatu proses pembedaan telah memisahkan mereka dari konstruksi negara mengenai “keindonesiaan”.

Pada titik simpang kritis ketiga yang menyertai akhir rezim Orde Baru, sebagian kelompok tersebut adalah para peserta dalam atau korban dari kekerasan etnis. Suku Dayak yang terpinggirkan berperang melawan para pendatang suku Madura di Pulau Kalimantan pada 1996, 1999, dan 2001. Orang-orang Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran selama gelombang kerusuhan berskala kecil antara 1996 dan 1998. Mereka juga menjadi korban dalam kerusuhan berdarah Mei 1998 yang secara resmi mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Soeharto.

Peminggiran dan penyingkiran telah membedakan suku Dayak dan para keturunan Cina dari orang-orang Indonesia lainnya. Mereka memperlihatkan basis diskriminasi yang antara lain menjelaskan keterlibatan mereka dalam kekerasan etnis selama periode transisi kelembagaan pada akhir 1990-an.

Dua Simpul Konflik
Ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnis terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.

Kekerasan juga bisa terjadi ketika kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu tetapi mereka tidak diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangkali bisa menyebabkan kekerasan.

Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.

Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan, simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlangsung melalui jalan damai, jika pemerintah dilengkapi dengan saluran atau wadah yang memadai untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengendepankan kepentingan mereka melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun protes poliik damai (hal 32).

Model Kebangsaan
Buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menjelaskan bagaimana berbagai bentuk dari apa yang Jacques Bertrand sebagai “model kebangsaan” dilembagakan, terutama di bawah Orde Baru tapi juga dalam kurun sejarah sebelumnya pada abad ke-20. Rezim Orde Baru memakai konsep sempit tentang bangsa Indonesia dan melembagakannya melalui cara-cara yang menyokong peminggiran dan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu, sehingga telah mengakibatkan gagalnya pengembangan sarana inklusi yang memadai bagi kelompok-kelompok yang melihat diri mereka sendiri sebagai suku-bangsa yang berbeda (seperti orang Timor Timur, Aceh, dan Papua), serta memperdalam ketegangan di antara kelompok-kelompok agama.

Buku karya Guru Besar Madya dalam bidang Ilmu-ilmu Politik, Universitas Toronto, Kanada ini semakin tajam ketika menggunakan teori institusionalis historis yang mampu menguak konflik-konflik pada akhir 1990-an sebagai titik simpang kritis baru dalam evolusi model kebangsaan Indonesia. Konflik tersebut muncul dari cara-cara terdahulu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok termasuk, atau tidak, ke dalam model kebangsaan ini dalam berbagai titik simpang sejarah modern Indonesia.

Dari kajian ini, kita mendapat pengertian bahwa bentuk-bentuk pengeroposan politik dapat mempunyai kekuatan kumulatif yang sangat besar untuk membatasi jangkauan negara. Tindakan represif tidaklah melenyapkan ketidakpuasan, tapi membuat ketidakpuasan itu harus diungkapkan melalui saluran yang berbeda-beda atau dibungkam. Yang lebih penting lagi, kekesalan lama tumbuh di bawah stuktur lembaga Orde Baru dan mendefinisikan ulang konflik menurut berbagai cara.