Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 30 Oktober 2011

Kisah Si Pembawa Sandal



"BUKU", Koran Tempo, Minggu, 30 Oktober 2011

Judul: Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai
Penulis: Tim Clark dan Mark Cunningham
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Cetakan: Agustus 2011
Tebal: 278 Halaman

Toyotomi Hideyoshi, mantan gelandangan yang berperawakan seperti monyet dan tidak pandai ilmu bela diri, ternyata dapat menjadi pemimpin tertinggi Jepang yang legendaris. Diawali sebagai pembawa sandal seorang bangsawan, ia bisa menjadi wakil kaisar dan berhasil menyatukan negeri yang sudah tercabik-cabik selama lebih dari 100 tahun. Bagaimana cara samurai tanpa pedang ini melakukan semua itu?

Sebagai seorang pemimpin, Hideyoshi selalu menyambut hangat dan ramah kepada setiap tamu yang datang, sekalipun ia petani paling miskin. Inilah kesadaran jiwa yang jarang dimiliki seorang pemimpin. Banyak pemimpin enggan menyapa rakyatnya dan lupa akan janji-janjinya. Namun hal ini tidak dilakukan oleh orang yang paling mengilhami warga Jepang agar yakin terhadap kemampuan mereka sendiri tersebut.

Lebih lanjut, ia mengajarkan pentingnya rasa syukur sebagai perwujudan rasa terima kasih dan welas asih. Dengan bersyukur, seseorang dapat merasakan kenikmatan yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Dengan bersyukur ini pula seseorang akan dapat selalu berbagi dalam keadaan suka dan duka. Inilah bentuk esensial dari keberuntungan.

Adapun kunci keberuntungan lain bagi Hideyoshi adalah mengenali bakat, sebagai perwujudan cinta kasih kepada diri sendiri dan Tuhan. Tanpa mengenali bakat, manusia akan tersungkur dalam kegalauan. Pasalnya, ia selalu mengeluh karena merasa tidak memiliki apa-apa dalam hidup ini. Padahal manusia terlahir ke dunia sebagai pemenang. Pemenang selalu mempunyai bekal dan strategi dalam menghadapi persoalan kehidupan.

Lebih dari itu, usaha adalah yang menentukan hasil. Usaha setengah-setengah membuahkan hasil setengah-setengah, usaha baik membuahkan hasil yang baik, dan usaha yang luar biasa membuahkan hasil yang luar biasa. Ini juga yang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan keberuntungan.

Keberuntungan lain bagi seorang Hideyoshi adalah ketika seorang pemimpin mau berbagi keberhasilannya dengan orang lain. Pemimpin juga harus membantu orang-orang yang kurang mampu agar bisa mengembangkan kemampuannya. Berbagi pengalaman dan mengembangkan kemampuan tidak akan mengurangi keilmuan seorang pemimpin. Bahkan, berkat kebiasaan ini, pemimpin akan semakin bertambah ilmunya dan dicintai rakyatnya. Rakyat merasa diayomi karena pemimpin yang perhatian dan mengerti keinginan kawulanya. Relasi cinta kasih inilah yang akan menghantarkan pada kehidupan yang berkeadilan.

Selain itu, berkat relasi ini, akan dihasilkan sebuah kerja sama. Kerja sama melahirkan keberhasilan, kata Hideyoshi. Kerja sama akan meringankan beban kerja. Dengan kerja sama, seseorang akan merasa memiliki dan pada gilirannya mereka akan memelihara apa yang telah diusahakan secara bersama.

Memang, Hideyoshi tidak memaparkan jalan menuju keberuntungan yang diungkapkan dalam buku berjudul Strategi Hideyoshi, "Another Story of the Swordless Samurai ini secara resmi. Tapi semuanya merupakan sari pati dari pernyataan dan keputusan yang ia wariskan.

Rasa syukur, sadar akan bakatnya, tujuan yang bisa dicapai, pengerahan usaha yang luar biasa, dan kerja sama yang kuat telah memungkinkan lelaki kecil yang berasal dari rakyat jelata ini mengendalikan sebuah bangsa dan menjadi "petani" yang paling sejahtera. Boleh jadi nilai-nilai inilah yang memungkinkan Jepang, sebagai negara kepulauan yang miskin sumber daya, menjadi negara adidaya kedua dari segi ekonominya.

Rahasia keberuntungan dan kepuasan sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Rahasia-rahasia ini senantiasa diketahui orang-orang bijak. Tapi, sebagaimana dalam setiap zaman, sekarang hanya segelintir orang yang menangkap makna sejatinya--apalagi kekuatannya yang luar biasa dalam pikiran yang siap menerimanya.

Pada akhirnya, buku ini akan membuat kita seolah sedang berada di kerumunan orang untuk mendengarkan kisah Hideyoshi. Kita akan banyak menemukan kebijaksanaan dan pesan moral yang terungkap pada buku The Swordless Samurai.

Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Selasa, 25 Oktober 2011

Menyingkap Selubung Hitam NII



Jurnal Nasional | Minggu, 23 Oktober 2011

Seorang mantan anggota Negara Islam Indonesia mengisahkan memoarnya selama direkrut dalam gaya menulis novel.


PERBINCANGAN tentang Negara Islam Indonesia (NII) tampaknya tidak ada habisnya. Wacana ini seakan terus ada dalam sejarah panjang perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Lihat saja sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, NII telah hadir sebagai "wacana perlawanan" terhadap keberadaan konsensus bersama founding fathers tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan agama (Islam) atau peraturan lainnya.
Kini, wujud NII sudah berubah. Sebagaimana diberitakan, rekrutmen "NII modern" telah menghalalkan segala cara. Mulai dari pembaitan yang dibarengi dengan penyetoran sejumlah dana, mengafirkan keluarga dan orang lain yang tidak mau mendukung NII, dan melakukan "pemberontakan" terselubung dengan membina jaringan pemerintahan mulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dusun, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga presiden, dan perangkat lainnya.
Dua Ayat
Dalam hal pengafiran, buku yang ditulis oleh Muhammad Idris, Mereka Bilang Aku Kafir, Kisah Seorang Pelarian NII ini menjadi saksi tertulis keberadaan praktik ini. Praktik cuci otak yang didahului dengan kata-kata manis berdalih mengaji Al Quran telah menyeret seseorang untuk mengatakan "kafir" kepada orang lain yang tidak sepaham dengannya.
Guna memperkuat praktik ini, ustaz pendamping menyitir ayat-ayat suci Al Quran. Seperti dalam Surat al-Maidah (5:44), "...Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Surat Al-Baqarah (2:208), "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu."
Dua ayat tersebut sering kali dijadikan tameng perekrut anggota NII. Bagi yang tidak mempunyai pemahaman atau pembelajaran agama yang baik maka ia akan mudah terperosok dalam penafsiran yang dangkal.
Dua ayat tersebut pun pernah sampai pada diri Muhammad Idris. Dia mengaku bimbang ketika mendapatkan penafsiran yang jauh dari pemahamannya saat di pesantren dulu. Hal ini karena seseorang dengan mudah menuduh orang lain kafir, sehingga mereka tidak wajib dihormati hingga halal darahnya untuk dibunuh.
Kisah-kisah perekrutan hingga menjalankan amaliah NII dikupas secara apik oleh Muhammad Idris. Ia tidak hanya mengetengahkan cerita tentang kealpaan dirinya ketika terjerembap dalam selubung NII, namun mengurai hal-hal yang kadang masih kita sanksikan, seperti apakah sebenarnya gerakan ini ada, bagaimana jaringan ini menyebar dan berkembang secara pesat, dan mengapa banyak orang gila pascarekrutmen atau ingin kembali ke jalan yang benar.
Ragam Penyajian
Muhammad Idris dengan gaya cerita novel mengisahkan sebuah drama kehidupan. Sebuah drama kehidupan yang mungkin menyenangkan untuk ditonton, tetapi begitu sakit untuk dijalani. Kisah ini tak akan terbayangkan oleh perasaan dan naluri yang paling dalam sekali pun. kisah tragis seorang santri lulusan pesantren yang dibuat shock oleh dunia luar pesantren yang penuh dengan serigala-serigala lapar yang mengintai dan mengancam mangsa dengan mata tajam dan mulut menganga.
Lebih dari itu, kelebihan buku ini terletak pada pengungkapan fakta yang pernah dilalui oleh Muhammad Idris. Sehingga apa yang ditulis menjadi semacam memoar.
Dengan demikian, buku ini terlihat kurang akademis, jika dibandingkan dengan karya serupa yang ditulis oleh Dewi Triana, Mengapa Saya Memilih Negara Islam (Juni, 2011), yang diterbitkan oleh penerbit yang sama. Buku Dewi lebih akademis karena berasal dari skripsinya di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Pengungkapan data dan fakta lapangan yang diperoleh dengan menjadi anggota NII KW 9 dibalut dengan pendekatan sosiologis, namun tidak meninggalkan gaya bahasa anak muda yang ringan dan lugas (apa adanya).
Walaupun demikian, apa yang telah ditulis oleh Muhammad Idris ini mampu menutupi lubang-lubang kekurangan karya yang ditulis oleh Dewi Triana.
Pada akhirnya, perbincangan dan karya tentang NII selalu saja menarik untuk dikaji secara mendalam. Beragam cara penyajian menjadikan kajian NII tidak hanya mandek pada karya yang pernah ditulis oleh Al Chaidar tentang Kartosoewirjo sebagai founding fathers NII.
***
Benni Setiawan adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tinggal di Sukoharjo.
***
Data Buku
Judul : Mereka Bilang Aku Kafir, Kisah Seorang Pelarian NII
Penulis : Muhammad Idris
Penerbit : Mizania, Jakarta
Terbit : Juni, 2011
Tebal : 218 Halaman
***

Minggu, 09 Oktober 2011

Jurnalistrik ala Dahlan Iskan



"Buku", Jawa Pos, Minggu, 9 Oktober 2011

Api jurnalisme yang hidup dan menerangi pikiran-pikiran besarnya. Itu yang membuatnya mampu mengatasi keruwetan persoalan kelistrikan.

Dahlan Iskan merupakan sosok fenomenal. Di tangannya Jawa Pos menjadi raksasa bisnis koran di Indonesia. Tidak kurang dari 190 koran lokal lahir dari tangan dinginnya. Ia juga membidani lahirnya 34 televisi lokal, percetakan, bisnis listrik, dan perkebunan.

Tidak hanya piawai dalam mengelola koran, ia juga sangat mahir menyulap kegelapan menjadi cahaya terang benderang. Berkat kecakapannya, perusahaan listrik negara (PLN) yang dulu seringkali dipelesetkan menjadi “Perusahaan Lilin Negara”, karena seringnya pemadaman dan ruwetnya birokrasi menjadi perusahaan yang mendapat pujian masyarakat luas.

Salah satu pujian itu datang dari Ishadi S.K. Dalam buku kumpulan tulisan sejumlah tokoh tentang Dahlan tersebut, Komisaris Trans TV dan Trans 7 ini menyebut ayah dua anak itu sebagai pemberi inspirasi. Dialah yang menjadi penggerak ekonomi karena berurusan dengan energi. Dialah yang menyelesaikan masalah kelistrikan Indonesia yang selama 60 tahun terakhir kalah berlomba mengejar kebutuhan listrik yang meningkat dengan drastis.

Telah terjadi kegagalan cara mengelola cara mengelola sumber tenaga energi listrik selama puluhan tahun di Indonesia, di negara yang sumber energi alamnya demikian banyak dan melimpah. PLN yang secara monopoli diberi hak atas pengelolaan sumber tenaga listrik, beberapa puluh tahun telah mencobanya, tetapi gagal.

Dahlan Iskan, seorang wartawan jebolan pesantren, hanya butuh satu tahun untuk mengatasi masalah itu! Sehingga Dahlan yang menjabat diretur Utama/CEO PLN tersebut pada 27 Oktober 2010, kemudian diulang lagi delapan bulan kemudian pada 17 Juni 2011, berani menantang lewat Program Gerakan Sehari Sejuta Sambungan (GRASS).
Kalau sebelumnya untuk mendapatkan sambungan listrik di rumah orang harus antre berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Dahlan Iskan menantang sejuta sambungan listrik dalam sehari!

Dahlan Iskan membuktikan kepada masyarakat luas bahwa dia mampu memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia ini. Kekhawatiran serikat pekerja PLN yang pada awal pelantikan menolak kehadiran orang luar kini terkagum-kagum dengan kinerja Dahlan Iskan.

Dahlan Iskan dengan gayanya yang lugas, tegas, dan tanpa kompromi mampu menata kebobrokan PLN. Dia mampu melaksanakan tugas dalam berbagai kesempatan dan situasi. Sebagaimana ketika memimpin rapat darurat di halaman Stadion Toeah Pahoe Palangkaraya, 26 Maret 2011, Dahlan menuliskan rencana strategis di atas lapangan yang datar dan agak basah karena semalam habis diguyur hujan.

Jurnalistrik
Bagaimana seorang wartawan mengurai keruwetan kelistrikan dalam waktu singkat? Don Kardono, pemimpin redaksi Indo Pos dan Ketua Forum Pemred Jawa Pos Groups menulis, Dahlan Iskan memang jurnalis sejati. Kapan saja, di mana saja, dalam suasana seperti apa saja, dia selalu menemukan tema memikat untuk berbagi kisah dengan khalayak. Sampai-sampai saat ajal hendak mengintai pun, dia masih kebanjiran ide untuk berbagi kisah melalui media.

Buku Ganti Hati yang dibuatnya dengan amat dramatis itu menjadi buku legendaris, buku terlaris dan dicetak terbanyak di Indonesia saat ini. Tidak ada yang tidak unik, tak ada yang tidak menarik di mata Dahlan. Darah jurnalistiknya seolah-olah sudah menyatu dengan jiwa raganya.

Mungkin itu juga yang membuat Dahlan eksis di PLN. Ada api jurnalisme yang hidup dan menerangi pikiran-pikiran besarnya. Dia seolah-olah sendang menerapkan prinsip layaknya wartawan bergulat dengan prinsip-prinsip jurnalistik, dalam mengatur kebijakan kelistrikan negara. Misalnya, soal nilai-nilai aktualisasi, dramatisasi, fakta yang menyentuh kepentingan publik, kejadian yang unik, unsur kedekatan dengan publik, eksklusif yang tidak dipunyai oleh tokoh yang lain, mendidik publik atau edukatif, dan penuh dengan karya-karya inovasi (hal 47-48).

CEO yang gemar memakai sneakers itu memang “pendekar mabuk” yang seakan-akan keranjingan membereskan PLN dan mengatasi kekurangan listrik di Indonesia. Hal yang ada di kepalanya, gagasan yang “aneh” sekalipun, akan langsung dilaksanakan.
Setelah satu tahun memimpin PLN, sekarang ini ia memimpin 52.000 karyawan, mulai dari direksi hingga petugas instalasi listrik terendah, yang bersatu bagaikan sebuah bala tentara yang penuh semangat dan siap melakukan tugas apa pun.
Barangkali motivasi paling kuat yang mendorong sikap trengginas mereka adalah perubahan situasi. Jika dulu selama puluhan tahun PLN menjadi tempat caci maki, sasaran kemarahan, dan unjuk rasa karena listriknya kerap padam, sekarang semua orang memuji PLN. Hal itulah yang memberikan kebanggaan tersendiri bagi seluruh karyawannya.

Akhir 2012 Dahlan Iskan akan meninggalkan posisinya sebagai CEO PLN sekaligus meninggalkan sebuah prestasi dahsyat yang akan dikenang. Mengatasi kekurangan listrik, menghentikan giliran listrik mati, menghemat triliunan rupiah setahun, dan membenahi manajemen serta mengubah seluruh jajaran karyawan untuk bekerja dalam budaya baru, yang efisien, hemat, penuh kerja keras. Sebuah jejak yang memberi inspirasi kepada bangsa ini, di tengah kegalauan dan pesimisme yang luas merebak.

Buku ini tidak hanya mendedah keberhasil seorang Dahlan Iskan menata dan memajukan PLN. Namun, buku ini juga menyajikan kesederhanaan dan semangat keberanian yang dimiliki Dahlan Iskan dalam memimpin. Memimpin ala jurnalistik yang mampu menyelesaikan persoalan listrik. Sebuah inspirasi yang wajib dibaca bagi siapa pun.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Kekuatan Memberi


"Buku", Bisnis Indonesia, 9 Oktober 2011

Judul : Why Good Things Happen to Good People
Penulis : Stephen Post dan Jill Neimark
Penerbit: Kaifa, Bandung
Terbit : Juli 2011
Tebal : 412 Halaman


Memberi adalah sebuah kata yang sederhana, tapi luar biasa dan serbaguna. Memberi memiliki arti yang hampir sama jumlahnya. Bahkan hanya dengan melihat sekilas kata tersebut di dalam kamus Webster, menunjukkan sebuah kolom definisi yang panjang—mulai dari “menghadiahkan”, “menawarkan”, hingga “menganugerahkan”, membaktikan”, “memercayakan”, “memperkenalkan”, “menyerahkan”, dan “peduli”.

Lebih lanjut, memberi akan memperbarui dan menjaga cinta sepanjang waktu. Cinta adalah obat yang paling mujarab. Dengan memberi kita menyingkirkan emosi-emosi negatif. Dalam kemurahan hati terdapat penyembuhan dan kesehatan.

Memperpanjang Umur
Memberi adalah kekuatan paling besar di dunia ini. Hal ini karena sebagaimana hasil penelitian dalam buku Why Good Things Happen to Good People ini, memberi pada saat duduk di SMA meramalkan kesehatan fisik dan mental yang baik hingga masa tua, untuk jangka waktu lebih dari lima puluh tahun.

Memberi sangat mengurangi tingkat kematian pada hari tua, bahkan jika Anda memulai belakangan. Memberi mengurangi depresi remaja dan resiko bunuh diri. Memberi lebih kuat daripada menerima dalam kemampuannya mengurangi tingkat kematian. Memberi membantu kita memaafkan diri sendiri atas kesalahan kita yang merupakan kunci perasaan sejahtera. Jika tidak memaafkan, Anda tidak akan berkembang. Dalam merelakan, ada kekuatan dan kebahagiaan. Dan pengampunan adalah sisi lain dari bersyukur.

Menolong teman, tetangga, saudara, dibarengi dengan memberikan dukungan emosional kepada pasangan hidup, mengurangi tingkat kematian walaupun tidak demikian halnya dengan menerima pertolongan yang sama. Bahkan tindakan berdoa untuk orang lain, seperti yang ditemukan oleh Neal Krause, mengurangi dampak berbahaya dari kesulitan kesehatan pada masa tua bagi mereka yang mendoakan. Memberikan dukungan lebih meningkatkan kesehatan daripada menerimanya.

Bukti Ilmiah
Buku ini berisi bukti ilmiah penelitian terakhir keajaiban memberi. Stephen Post dan Jill Neimark dengan ketekunannya selama 25 tahun meneliti bagaimana memberi telah mengubah kehidupan seseorang.

Presiden Institute for Research on Unlimited Love dan seorag penulis ilmiah yang telah dipublikasikan secara luas ini menemukan sepuluh cara memberi yang dapat Anda terapkan setiap hari dengan bersyukur, generativitas (menumbuhkan orang lain), memaafkan, keberanian, humor, respek, welas asih, setia, mendengarkan, dan kreatifitas. Buku ini juga berisi kisah-kisah inspiratif yang akan mampu menggerakkan dan mengubah kebiasaan yang akan mengantarkan seseorang memiliki jiwa pemberi.

Sebuah jiwa yang akan mengantarkan Anda pada kehidupan yang penuh kebahagiaan, rasa dicintai, rasa aman dan tenteram, dan kehangatan dari sebuah hubungan yang sejati.
Pada akhirnya, dengan memanfaatkan panduan pada setiap bab buku ini, Anda bisa menciptakan rencana khusus untuk mewujudkan kehidupan yang lebih murah hati dengan menggunakan gaya memberi yang paling sesuai bagi diri Anda. Buku ini akan membantu kehidupan Anda dengan penuh cinta kasih, umur panjang, hidup sehat, bahagia, dan sejahtera dengan satu kata, memberi.

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sabtu, 08 Oktober 2011

Bersanding dengan al-Qur’an



Judul : Agar al-Qur’an Menjadi Teman
Penulis : Dr. Majdi al-Hilali
Penerbit: Zaman, Jakarta
Terbit : 2011
Tebal : 287 Halaman

Majalah MATAN, Edisi Oktober 2011

Muhammad Iqbal menyebut al-Qur’an lebih dari sekadar sebuah kitab. Jika ia merasuk ke dalam hati, manusia akan berubah menjadi lebih baik. Dan bila manusia berubah maka dunia pun berubah.
Buku Agar al-Qur’an Menjadi Teman ini bercerita tentang nilai-nilai al-Qur’an dan cara memetik manfaat darinya dalam upaya menjalin hubungan hakiki antara hati dan Kitab Suci tersebut, sehingga akan terjadi perbaikan pada setiap diri, lalu umat secara keseluruhan, seperti dicontohkan generasi sahabat Nabi.
Generasi telah membuktikan kepada dunia bahwa ia mampu memimpin peradaban dalam tempo yang singkat. Kunci sukses keberhasilan mereka adalah selalu hidup bersanding dengan al-Qur’an. Mereka memperlakukan al-Qur’an secara tepat. Hati mereka menyambutnya secara baik. Mereka pun menjadi generasi gemilang.
Jika al-Qur’an mampu melahirkan generasi awal yang gemilang, niscaya ia juga mampu melahirkan generasi baru yang akan mengentaskan umat ini dari krisis, lalu mengembalikan mereka ke puncak keagungan. Ini bukan mimpi, bukan pula khayalan, melainkan fakta yang telah terbukti dalam sejarah (hal 26).
Buku ini ditulis agar setiap hati bertautan dengan al-Qur’an. Dengan kata lain, menyilakan cahaya al-Qur’an masuk ke hati. Hal itu menuntut pendekatan yang tepat agar sesuai dengan bimbingan Allah dalam al-Qur’an, tuntutan Rasulullah dalam sunnah dan teladan para sahabat.
Penulis buku ini, Majdi al-Hilali, menegaskan bahwa jika membaca al-Qur’an tanpa pemahaman, perenungan, dan kepekaan, seseorang tidak akan dapat memetik mufakat secara sempurna—meskipun tetap mendapat pahala.
Al-Qur’an adalah ruh dan sumber tenaga hati. Siapa yang kehilangan al-Qur’an, ia kehilangan peluang besar untuk hidup secara hakiki, kehilangan kesempatan menikmati kebahagiaan, keridaan, dan surga dunia.
Al-Qur’an bukan lembaran-lembaran teori. Ia tidak akan mewujudkan dalam kenyataan jika kita tidak bersungguh-sungguh memetik manfaatnya.
Buku ini secara lugas mendedeh tema al-Qur’an yang dapat menjadi spirit kebangkitan. Melalui karya ini Majdi al-Hilali ini menyampaikan pesan bahwa masyarakat harus memulai kebangkitan diri dan bangsa dari al-Qur’an. Pemahaman dan pengamalan terhadap teks al-Qur’an menjadi kata kunci dan modal utamanya.
Pada akhirnya, mengutip sebuah Hadis, Nabi mengabarkan bahwa akan terjadi sengketa dan perpecahan sepeninggal beliau. Hudzaifah bertanya, “Ya Rasul, apa yang kau perintahkan padaku jika aku menututi zaman itu?” Beliau menjawab, “Pelajari kitab Allah dan amalkan, itulah solusinya!” “Kuulangi pertanyaan itu tiga kali,” tutur Hudzaifah, dan Rasulullah pun menjawabnya tiga kali pula; “Pelajari kitab Allah dan amalkan, itu penyelamatnya!” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i, dan al-Hakim).

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.